Minggu, 04 Desember 2016

NEWS STORY: Peniwen Affairs, Ketika PMR & Pasien Diberondong Peluru

SELALU ada luka dan sisanya masih membekas jika sudah bicara masa perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan. Kisah-kisah tragis pun bermunculan tentang kejahatan perang Belanda kala merongrong republik ini di era revolusi fisik (1945-1949).

Di berbagai pelosok nusantara, perlahan mulai terbuka cerita-cerita maupun tragedi kemanusiaan. Mulai dari Rawagede (Karawang), Takokak (Cianjur), Sulawesi Selatan, Tambun Sungai Angke (Bekas), Rengat (Riau), Padang (Sumatera Barat) dan tak ketinggalan, sebuah desa bernama Peniwen di Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

BERITA REKOMENDASI


Jika peristiwa Rawagede berlangsung 1947, Tambun Sungai Angke 1948, peristiwa di Peniwen atau yang belakangan dikenal dengan sebutan "Peniwen Affairs", terjadi di kuartal pertama 1949, tepatnya 19 Februari 1949.

Bila di Rawagede dan tempat-tempat lain itu warga sipil yang dihabisi, di Peniwen justru perawat remaja (kini Palang Merah Remaja/PMR) dan para pasiennya yang jadi korban, saat sepasukan Belanda menyerbu sebuah rumah sakit (RS).

Memang dari beberapa literatur, baik cetak maupun online, sudah mulai bermunculan kisah-kisahnya. Tapi pemaparan mendalam didapati penulis saat bertemu salah satu saksi hidupnya.

Wim Banu namanya. Seorang pensiunan karyawan BUMN PT Pertamina yang tinggal di sekitar Rawamangun, Jakarta Timur. Kontaknya didapati penulis dari aktivis dan Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Jeffry Pondaag.

Lantas bersama rekan penggiat sejarah Beny Rusmawan, penulis menyambangi rumahnya. Tubuhnya sudah mulai lemah, karena untuk membukakan pintu saja harus minta tolong pada kedua cucunya.

Kendati badannya mulai renta, namun ingatan pria berusia 82 tahun ini masih kuat. Terbukti dari dia menuturkan dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, hingga soal dua anggota keluarganya yang ikut jadi korban Peniwen Affairs.

Singkat kisah bahwa pada suatu hari Sabtu 19 Februari 1949, datang dua rombongan tentara Belanda dari arah utara dan barat. Rombongan "grup" utara yang lebih dulu tiba di Desa Peniwen, setelah sempat terlibat baku tembak dengan beberapa anggota KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) Brigade XVI.

Tapi setelah baku tembak, pasukan Belanda itu datang ke Desa Peniwen dan langsung menggeledah sebuah RS bernama Panti Husodo. RS dadakan sebetulnya, karena awalnya itu adalah bangunan Sekolah Rakyat yang awalnya diubah jadi klinik dan kemudian jadi RS pada 1947.

"Belanda itu salah terka. Dikiranya (RS) itu markas tentara Indonesia. Mereka datangi RS itu hari Sabtu kira-kira jam 3-4 sore dan teriak memerintahkan semua orang untuk keluar. Ada yang diikat tangannya dan perawat atau pasien yang tidak kebagian tali untuk mengikat, dikumpulkan di halaman depan," ungkap Wim Banu kepada Okezone.

"Yang dikumpulkan di halaman depan RS itu ada tiga perawat dan tiga pasien. Sempat ada jeda hening, sebelum ada satu per satu suara tembakan. Di antara dua palang merah yang tewas itu kakak saya (Sujono) dan ipar saya (Slamet Ponidjo)," imbuhnya yang mengaku rumahnya tepat berada di seberang RS itu.

Salah satu pasien yang dieksekusi dan diberondong peluru Belanda, ternyata masih ada yang hidup. "Rupanya ada satu pasien yang masih hidup, pelurunya enggak tembus ke jantung, tapi sudah berdarah-darah," tutur Wim Banu.

"Saat Belanda masih ada, dia pura-pura mati. Tapi ketika Belanda pergi, dia merangkak pelan-pelan ke rumah saya. Dia tergeletak kemudian di ruang tamu," sambungnya yang mengisahkan pasien itu bernama Kasman dan selamat karena pada akhirnya dibawa ke RS di Kepanjen.

Peristiwa itu jadi kegemparan tersendiri karena selama ini, desa mereka tergolong tenang dan tenteram. Desanya pun ramai karena termasuk maju. Tapi kejadian itu takkan jadi yang terakhir, lantaran datang lagi satu grup tentara Belanda lainnya dari arah barat.

Tapi berbeda dari kelompok yang pertama, tentara Belanda yang datang menjelang malam ini setidaknya lebih "bersahabat". Ayahnya bahkan sempat diajak bicara oleh salah satu komandannya, setelah Wim Banu dan keluarganya keluar dari tempat persembunyian.

Malah kedatangan tentara Belanda yang kedua itu terjadi tak lama setelah mereka menguburkan enam mayat. Yang ditembak mati di halaman memang lima, tapi ternyata saat meninggalkan desa itu, ada satu warga lainnya yang ditembak begitu saja oleh tentara Belanda. Jadi jumlahnya pun tetap enam yang dikuburkan.

Setelah tentara Belanda datang ke rumah Wim Banu dan sedikit berbincang dengan ayahnya yang dulunya sebagai guru di Sekolah Rakyat, rumahnya sempat "disulap" jadi tempat persinggahan dan dapur umum. Wim masih ingat betul ketika dia disuruh cari kayu bakar agar tentara Belanda bisa memasak.

"Setelah kami keluar dari tempat persembunyian, rumah kami dijadikan tempat singgah dan dapur umum. Saya masih ingat, masih ada satu mandor dapur tentara Belanda, nyuruh-nyuruh saya dengan membentak untuk cari kayu bakar," kenangnya lagi.

Pagi di keesokan harinya, rumahnya sudah kosong lagi karena tentara Belanda itu sudah pergi pagi-pagi sekali. Nah tiga hari setelah kejadian, ada seorang pendeta pribumi yang protes dengan menuliskan surat ke Sinode (persekutuan gereja) di Malang dan diteruskan dalam Bahasa Inggris ke Komisi Tiga Negara (KTN), Persekutuan Gereja di Belanda dan WCC atau Dewan Gereja Dunia di Swiss.

Pendeta itu memprotes tidak hanya tentang kejadian pembantaian di Peniwen yang sekiranya sudah melanggar perjanjian internasional, karena itu kan rumah sakit, tapi juga ada beberapa kasus pemerkosaan oleh tentara Belanda.

"Saya ingat bulan November di tahun yang sama (1949), akan ada tamu dari New York (Amerika Serikat), Swiss dan belanda ke Peniwen. Ternyata responsnya (surat protes) itu cepat juga. Mereka mengajukan belasungkawa. Tapi baru 2011 Belanda mengakui kesalahan itu bersamaan dengan Rawagede.

Belum lama ini juga datang surat permintaan maaf lainnya dari Palang Merah Belanda kepadanya. Selain mengucapkan penyesalannya, di surat itu Palang Merah Belanda turut memberikan bantuan, untuk perbaikan Monumen Peniwen Affairs yang mulai tak terawat.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search