Selasa, 28 Februari 2017

Kisah Sukses Penderita HIV/AIDS Melawan Stigma Negatif Masyarakat (2/habis)

JawaPos.com - Tidak dapat dipungkiri saat ini, bahwa sebaran penyakit HIV/AIDS atau orang penderita HIV/AIDS (ODHA) hampir merata di setiap daerah Indonesia.

Begitu juga dengan ODHA dianggap sudah 'tamat' dan tidak bisa lagi beraktivitas secara normal seperti orang lainnya.  Namun stigma itu berhasil dialawan oleh Wijianto, seorang yang positif HIV/AIDS sejak 2011 lalu.

Pria kelahiran Nganjuk, 7 November 1983 itu melakukan pengembaraan dengan berjalan kaki. Dari perjalanannya keliling Indonesia itu Wijianto selalu bertemu ODHA. Keberadaannya pun dapat diterima oleh orang setiap daerah, meski perlakuannya berbeda-beda.

Diceritakan Wijianto, setiap kali sampai di satu daerah, ia langsung menemui komunitas ODHA. Lantas menuju ke KPA atau pemangku kepentingan di daerah tersebut.

Duda satu anak ini kemudian melakukan sosialisasi ke sekolah, kampus, persatuan kelompok masyarakat. "Misi saya ada dua, pertama untuk memberi dukungan kepada ODHA untuk semangat agar bisa survive, bangkit dari keterpurukannya. Kedua, mensosialisasikan agar tidak ada lagi perlakuan diskriminatif kepada ODHA sekaligus cara menekan menularnya HIV AIDS, jadi ini targetnya," kata Wijianto seperti dilansir Sumut Pos (Jawa Pos Group).

Dia mengaku, di setiap daerah selalu saja ada yang membantunya. Bahkan tak jarang ada ODHA, mahasiswa dan lainnya menemaninya berjalan dari daerah ke daerah. Dia pun sering menerima bantuan seperti diberi air minum oleh pengguna jalan, atau makan gratis di warung nasi.

"Penuh kesan, bahkan saat saya di Bali karena saya bawa bendera segala di tas, ada polisi yang mengira saya itu mahasiswa yang mau melakukan demo. Akhirnya saya jelaskan, eh polisi itu malah ngasih saya duit. Lucunya lagi, uangnya itu hanya Rp 7.000," katanya sembari ketawa.

Tak hanya itu, saat melakukan perjalanan dari Bantimurung Makassar ke Bone, empat malam dirinya berjalan dan sepanjang jalan adalah hutan.

"Sayakan makanan gak stok di tas, tapi beli kalau ada warung. Ternyata dari Bantimurung ke Bone itu tidak ada perumahan. Akhirnya saya lihat-lihat di sepanjang hutan apa yang bisa diambil buat dimakan. Akhirnya saya cabut ubi yang terlihat, itu yang saya bakar," katanya.

Tak hanya itu, masih banyak cerita senang juga duka saat perjalanan. Ketika di Papua, dia disarankan teman untuk memasukkan bendera ke dalam tas demi keamanan.

"Intinya di setiap daerah pasti ada saja yang bantu. Kalau sedihnya yah mungkin saat saya ketemu dengan anak dengan HIV/AIDS. Rasanya sedih sekali, apalagi ada yang masih belum diterima keluarganya," katanya.

Sedangkan perjalan ke Sumut, dia pilih karena kasus HIV/AIDS di Sumut masih cukup tinggi. "Penyakit HIV/AIDS di Sumut menempati posisi ketujuh di Indonesia. Saya juga cari data sebelum berangkat. Rencana, dari Medan saya berjalan menuju Langkat, sampai ke Aceh dan rencana ke Sabang. Target perjalanan saya berhenti di tahun ini," paparnya. 

Melalui perjalanannya ini, dia menyimpulkan bahwa stigma negatif dan tindakan diakriminasi pada ODHA terjadi lebih besar di daerah. Di Kota, sudah jarang sekali ada tindakan diskriminatif pada ODHA.

"Artinya, sosialisasi atau edukasi soal HIV/AIDS masih berfokus di kota saja. Saya rencananya, setelah perjalanan ini ingin membuat rangkumannya menjadi sebuah buku. Buku tersebut nantinya saya berikan kepada pemerintah agar jadi evaluasi," katanya penuh semangat. (ain/ila/iil/JPG)

Alur Cerita Berita

Rekomendasi Untuk Anda

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search