Rabu, 29 Maret 2017

Kisah Guru Anak Buruh Migran, Membagi Cerita tentang Indonesia

"KITA ini punya tanah dari Papua sampai Sumatera. Ambillah itu oleh kalian! Itu punya kita. Kalian bisa jadi apapun di tanahmu sendiri, kau bisa jadi dokter, camat, atau apapun di Indonesia."

Itulah ucapan Cikgu Nurdin Citro Finsae (29 tahun) yang selalu dikatakan kepada anak didiknya. Ya, panggilannya "Cikgu", bahasa Malaysia yang artinya guru. Nurdin mengajar anak-anak Buruh Migran Indonesia (BMI) di perkebunan sawit Ladang Lavang, Sarawak, Malaysia. Dengan ucapan itu, dia mengharapkan bahwa anak-anak BMI itu dapat memiliki nasib lebih baik dari orang tua mereka.

Pikiran dan tenaga lelaki bergelar Sarjana Teologi ini kini segalanya telah dicurahkan untuk anak-anak BMI di Ladang Lavang. Indonesia dalam kacamatanya tidak hanya berhenti pada lagu-lagu nasional yang dinyanyikan, tapi sebuah nama yang mesti diperjuangkan hingga masa mendatang, termasuk generasi penerus yang berada di luar tanah Indonesia, misalnya di Sarawak-Malaysia.

"Setelah beberapa Minggu di Indonesia, nanti saya akan ceritakan kemajuan Indonesia. Saya akan cerita kalau kamu naik kereta di Indonesia kini sudah nyaman, sangat cepat, kau tinggal duduk dan seketika tiba di tujuan. Nah cerita-cerita seperti itu yang biasanya mereka suka. Anak-anak itu perlu dikasih imajinasi bahwa negaranya kini sudah sangat maju. Kan kalau diberi gambaran seperti itu, mereka bakal tanya 'benarkah di Indonesia seperti itu, Cikgu?' nanti saya akan jawab, 'ya! Makanya cepatlah kalian pulang dan sekolah tinggi-tinggi di sana," tutur Nurdin saat ditemui di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Selasa, 21 Maret 2017.

Nurdin pada awalnya tidak berangkat untuk menjadi guru di Serawak. Ia berangkat karena frustasi akan kondisi lapangan pekerjaan di tanah airnya. Dengan tekad mengharapkan pendapatan uang yang lebih besar, pada 2013 ia berangkat ke Sarawak dan bekerja sebagai penombak buah sawit di Ladang.

Setelah tujuh bulan bekerja, dia menerima pengumuman dari pihak perusahaan sawit bahwa dibutuhkan tenaga pengajar untuk mendidik anak-anak BMI di Ladang Lavang. Ia pun mengikuti seleksi. Ada 27 orang yang mengikuti seleksi, dan hanya dipilih tiga orang, termasuk Nurdin.

Sejak awal, tekadnya menjadi guru adalah untuk memperbaiki nasib dirinya sendiri. Dia meratapi bahwa nasibnya itu tidak baik. Meskipun pendidikan sarjana telah ditempuh, tapi akhirnya ia mengalami menjadi budak di kebun sawit negeri orang. Nurdin tak ingin nasib anak-anak BMI lebih buruk, ia ingin menjelaskan bahwa pendidikan dapat menjadikan orang lebih sukses. Namun, dengan terus mendidik anak-anak di Indonesia, terkadang ia lupa kalau dirinya adalah orang Indonesia, dan seorang pengabdi kepada negaranya sendiri.

"Saya baru menyadari bahwa saya orang Indonesia, pemilik tanah ini ketika kemarin perjalanan menemui kawan di Banjar. Saat di bis, teman saya bertanya 'apakah saya tidak takut tersesat dan terjadi hal-hal kriminal di perjalanan?' Saya berpikir dan menjawab dalam hati. Ini tanah saya, saya masih warga Indonesia, saya masih punya KTP. Kenapa harus takut segala? Di tanah orang pun saya berani pergi sendiri. Dari sanalah saya sangat yakin, bahwa pendidikan nasionalisme terhadap anak-anak BMI di sana amat penting. Jangan sampai mereka lupa bahwa mereka punya tanah air karena terlalu lama ikut orang tuanya jadi buruh di ladang sawit negara tetangga. Perjalanan ke Indonesia ini, akan saya jadikan perjalanan penggalian inspirasi untuk dibagikan pada anak didik saya di sana," tutur Nurdin.

Ia dan dua rekan guru dari Sarawak mengikuti seleksi guru utusan Indonesia ke Malaysia yang diselenggarakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di UPI Bandung. Mereka pergi jauh dari Sarawak ke Bandung demi harapan memperbaiki kondisi mereka dan mendapat perhatian lebih dari pemerintah. "Kami ini tidak mengharapkan terlampau banyak. Selama ini, kami telah berjuang untuk anak-anak buruh di sana. Dengan ikut seleksi ini, kami hanya berharap dapat memperpanjang langkah perjuangan. Jika kami lolos dan mendapat bantuan intensif dari Pemerintah Indonesia, kami akan sangat bahagia," begitu harapan mereka. (Muhammad Fasha Rouf)***

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search