Senin, 20 Maret 2017

Kisah Sarmi, Penjual Opak di Blang Ketumba Bireuen

BIREUEN – Sore mulai beranjak, pertanda malam akan segera tiba. Cahaya matahari pun kian temaram, setelah belasan jam sebelumnya garang menyinari bumi, hingga dedaunan kerontang dan lunglai.

Di ujung sebuah lorong yang sempit, yang rindang dengan pepohonan rambutan, seorang perempuan setegah baya membungkuk. Tangannya terus memungut satu persatu tumpukan opak yang dijemur di atas tikar plastik di sebuah kebun rambutan milik tetangganya. Sesekali wajahnya menoleh, lalu kedua tangannya kembali memungut lempengan opak dan dikumpulkan ke sebuah wadah yang telah disiapkan. Inilah kegiatan saban hari  Sarmi, (45) di  Dusun Mata Ie, Gampong  Blang Ketumba, Kecamatan Juli, Bireuen. Membuat dan menjual opak, untuk menopang biaya hidup kelima anak-anaknya.

loading...

"Beginilah kondisi saya untuk menutupi kebutuhan keluarga dan biaya untuk anak-anak yang masih sekolah," ujar Sarmi lirih kepada GoAceh, Minggu (19/3/2017). Setiap hari, Sarmi membuat kerupuk ubi untuk dijual kepada agen penampung di pasar pagi Bireuen dengan harga jual Rp2.500 per ikatnya. Untuk satu ikat hanya  berisi 10 opak. Usaha pembuatan opak ini dibantu anak sulungnya, Safrina. Putri pertamanya ini lulusan Fakultas PGSD di Universitas Almuslim yang kini masih tetap menjadi guru honorer di SD Paya Cut, Kecamtan Juli, Bireuen. Awalnya usaha ini dirintis setelah suaminya, Rasyidin, (50) yang kini terbaring lemah akibat penyakit stroke yang menyerangnya dua tahun lalu. Mereka menempati sebuah  gubuk sebagai tempat berlindung dari hujan dan teriknya matahari. Setelah suaminya sakit, Sarni menjadi tulang punggung keluarganya. Apa lagi putra keempatnya, Musri masih duduk di bangku kelas 3 SMP dan si bungsu, Anna Safira, (10) bersekolah di MIN dan masih butuh biaya. Kecuali itu, putra kedua dan ketiganya, Rahmat Sayuti serta Suhelmi hanya berhasil menamatkan  bangku seklah SMP dan kini ikut membantu membuat opak di rumah saudaranya Sarmi. Selain membuat opak, Sarmi masih kuat menjalani pekerjaan lainnya menjadi buruh setrika pakaian di rumah tetangganya serta  di Asrama Yonif 113/Jaya Sakti Bireuen yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. "Hasil dari pekerjaan sampingan menjadi buruh setrika itu juga digunakan untuk biaya rumah tangga," katanya menahan sedih. Sementara, Safrina yang kini menjadi guru honerer di SD Paya Cut, Kecamtan Juli, Bireuen hanya mengajar tiga kali seminggu dengan upah setiap bulannya hanya Rp100 ribu, dan hanya dibayar tiga bulan sekali.    Sebelum tanggung jawab keluarga tertumpu di pundaknya, dulu sang suami Rasyidin sempat bekerja di perkebunan sawit. Tetapi ujian itu tiba-tiba datang, Ia pun terjatuh di depan rumahnya karena mengalami stroke. "Saat kejadin itu, ayah anak-anak sempat dibawa ke rumah sakit beberapa kali, namun kondisnya tidak pulih. Terakhir diputuskan tidak lagi berobat, apa lagi kondisi ekonomi juga semakin berat," katanya. Sarni sangat mengharapkan bantuan kursi roda dari donatur mupun pemerintah, sehingga suaminya dapat keluar rumah untuk menghirup udara segar. Karena belakangan ini suaminya hanya bisa terbaring di kamar. Ia terus berusaha, bekerja keras untuk merawat suaminya dan menghidupi kelima anak-anaknya."Semoga Allah membuka jalan agar ada yang terketuk hatinya untuk membantu kami," tuturnya.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search