TATAP matanya masih tajam. Suaranya juga masih cukup lantang terdengar. Edi B Somad, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kabupaten Bekasi, begitu semangat ketika 'curhat' masa mudanya yang dihabiskan di masa revolusi kemerdekaan RI 1945-1949.
Penulis bersama rekan penggiat sejarah dari komunitas Front Bekassi Beny Rusmawan, sempat beberapa kali salah jalan mencari rumahnya yang berada tidak jauh dari Stasiun Tambun atau Gedung Juang Tambun, Kabupaten Bekasi.
BERITA REKOMENDASI
Setelah bertanya sesaat pada orang-orang yang ditemui, didapatilah rumah Pak Edi Somad ini di sebuah gang sempit di belakang Stasiun Tambun. Rumahnya sederhana, tapi tergolong layak huni, terlebih nampaknya sudah pernah menikmati program bedah rumah veteran.
"Di LVRI Bekasi, saya masih satu-satunya veteran yang tercatat berasal dari masa 1945. Dulu saya juga wilayah gerilyanya di kawasan Bekasi sini, jadi anak buahnya Pak (Mayor) Sambas Atmadinata, Komandan Batalyon V Resimen Cikampek Divisi Siliwangi," papar Edi mengawali kisahnya kepada Okezone.
Hati dan semangatnya bak bergelora lagi ketika mengenang masa-masa mudanya di zaman perang yang masih tersisa di ingatannya. Dari berbagai kisahnya, ada satu rangkaian cerita yang buat penulis, cukup menarik dan terbilang 'greget' dalam masa tugasnya, di mana akan coba penulis sampaikan dalam tiga bagian artikel.
Di Bagian I (pertama) ini, Edi yang pensiun dari kedinasan TNI berpangkat sersan mayor (serma) itu, mengisahkan pengalamannya kala diajak komandannya, Mayor Sambas dari Bekasi ke Bogor. Ada misi "pengadaan" persenjataan yang tentunya bukan cara beli, tapi merampas bedil dari Belanda.
"Dulu tahun 1947 itu, tapi saya lupa bulannya, pernah sama kawan-kawan dikirim ke Bogor. Disuruh merebut, merampas senjata dari Belanda. Caranya, suruh (membuat) skenario dagang jeruk," lanjut kakek yang sudah mencapai usia 89 tahun itu.
"Kita nyamar gitu jadi pedagang jeruk di Bioskop Maxim tuh di Bogor. Nah, 5-6 orang teman saya yang lain jadi 'jambret' di belakangnya. Saya disuruh menawarkan jeruk ke tentara Belanda yang lagi ngantri karcis bioskop. Kan mereka mah walau mau nonton, tetap bawa senjata disandang tali senjatanya di bahunya tuh," tambahnya.
"Silakan meneer (tuan), coba jeruknya. Kalau tidak manis, jangan dibeli. Gitu kata saya. Pas tentara Belandanya lengah sambil nyomot dan nyobain jeruk yang saya bawa, di situ teman-teman saya yang jadi jambret di belakang ngerampas dan bawa kabur senjatanya," sambung Edi sembari mencetuskan tawa kecil saat mengingatnya.
Edi juga menceritakan, bahwa tentara Belanda yang dijambret senjatanya tak pernah mengejar teman-temannya itu. Masalahnya, mereka pun kadung ribet karena sedang mengantre beli karcis bioskop.
"Misi" pengadaan senjata dengan cara culas seperti itu juga diceritakan Edi, tak dilakukan sendiri. Tapi juga beberapa rekan lainnya ada yang melakukan skenario serupa.
"Dulu enggak cuma saya yang menyamar jadi pedagang jeruk. Tapi ada banyak. Makanya sehari kita bisa dapat 15-20 senjata. Tiap hari itu, enak-enak banget nargetin merekanya yang lagi lengah," tandas petarung republik kelahiran Kemayoran 1928 tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar