ABDURRAHMAN (AR) Baswedan dikenal sebagai salah satu anggota delegasi RI yang sukses mendapatkan pengakuan kedaulatan resmi pertama de jure dan de facto untuk republik dari Mesir, pasca-memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sukses besar yang sayangnya tak diikuti jalannya kehidupan pribadi.
Kakek Calon Gubernur DKI Jakarta 2017 nomor urut 3 Anies Baswedan itu, sepulangnya dari Mesir, tak lagi menjabat sebagai Menteri Muda Penerangan RI dan hidup sederhana di Solo, Jawa Tengah. Duka mendalam menerpa keluarga ketika Sjaichun, istrinya meninggal pada 19 Juli 1948 akibat penyakit malaria.
BERITA REKOMENDASI
Kondisi AR Baswedan kian sulit ketika sudah ditinggal istri, tapi kehidupannya kian sulit karena harus mengurus sembilan anaknya sendirian. Dituliskan Sutarmin dalam buku 'Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya', AR Baswedan sampai harus menjual beberapa pakaiannya untuk terus bikin dapur ngebul.
AR Baswedan juga kemudian sedikit dibantu keponakan Mohammad Natsir yang menyediakannya sejumlah kantung teh untuk di jual. Kadang AR Baswedan menjualnya di pinggir jalan antara pukul 6-10 pagi, kadang dijual dari pintu ke pintu.
Tentu hasilnya tak seberapa. Sedikitnya cukup untuk memenuhi sembilan mulut anak-anaknya dengan makanan yang layak. Sebelum Agresi Militer II Belanda pada 19 Desember 1948, AR Baswedan tengah berada di Yogyakarta dan ketika Belanda menyerbu Yogya bersama anak-anaknya.
Sementara AR Baswedan saat pesawat-pesawat Belanda beterbangan di langit Yogyakarta, dipercaya Wakil Presiden/Perdana Menteri RI Mohammad Hatta untuk meneruskan secarik kertas dari Gedung Agung ke RRI Yogya.
Ternyata itu isinya sebuah maklumat untuk disiarkan melalui RRI. Maklumat di mana Perdana Menteri Hatta ingin perang gerilya terus dilakukan meski Kota Yogyakarta sudah diserbu, serta maklumat untuk Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi
Selepas dari RRI, dia mendengar bahwa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Hatta ditahan Belanda. AR Baswedan juga sempat ditahan Belanda saat pulang ke rumah kontrakannya di Jalan Willis, Kotabaru, Yogyakarta.
"Tapi AR (Baswedan) tak mendapat siksaan berkat bantuan dan simpati seorang tentara Belanda yang pernah diselamatkan pamannya, Umar Baswedan di Semarang," tulis M Husnil di biografi Anies Baswedan, 'Melunasi Janji Kemerdekaan'.
Pun begitu, setidaknya selama beberapa hari AR Baswedan sempat merasakan dinginnya dinding penjara. Sementara anak-anaknya sudah diungsikan ke Solo. Tapi sekeluarnya dari penjara, AR Baswedan mesti dilarikan ke Rumah Sakit Panti Rapih karena sakit ginjal.
Meski begitu, AR Baswedan tak mendapatkan perawatan hingga pulih. Malah, dia harus kembali berjualan pakaian dan kantung teh demi mengais rezeki halal. AR Baswedan juga sempat "menumpang" untuk tinggal di Jalan Jetis.
Hingga akhirnya teman-temannya menyarankan AR Baswedan menikah lagi. Tapi selama revolusi kemerdekaan belum berakhir, AR Baswedan tetap menduda. Baru pada 1950, dia menikah lagi dengan Barkah Ganis, seorang janda yang sedianya pernah dikenalnya semasa jadi aktivis di Partai Arab Indonesia (PAI).
Meski keluarga Barkah berasal dari keluarga dengan ekonomi berlebih dan sementara AR Baswedan duda beranak 9 dengan kondisi sulit, Barkah tetap mau menerima pinangannya, hingga pernikahan AR Baswedan-Barkah Ganis dilangsungkan di rimah HM Bilal di Kauman, Yogyakarta.
Dari pernikahan keduanya ini, AR Baswedan kembali dikaruniai 2 anak lagi dan tinggal di kompleks Taman Juwono, Yogyakarta. Dalam kehidupannya pasca-kemerdekaan pun, AR Baswedan hidup sederhana.
Sebagai salah satu negarawan yang sarat jasa, kakek Anies Baswedan itu tak pernah mau memanfaatkannya demi mendapatkan materi. Memang AR Baswedan pernah punya dua mobil.
Tapi itu pun mobil pemberian yang jarang dipakai. "Borosnya minta ampun," cetus Anies di buku tersebut soal dua mobil kakeknya itu. Malah, salah satu mobil yang diberikan sahabatnya, Adam Malik, berupa mobil Chevrolet Impala 6.000 cc, tak pernah digunakannya dan lebih sering didiamkan.
AR Baswedan kalau berperjalanan ke mana-mana, justru pilih jalan kaki. Kalaupun agak jauh, paling naik becak. Sebuah "lukisan" kehidupan sederhana yang patut dicontoh, sebagaimana kehidupan sederhana H Agus Salim serta M Natsir pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar