TEKNOLOGI penerbangan berkembang amat cepat sejak awal abad ke-20. Pemeliharaan pesawat juga amat dijaga hingga perjalanan udara dipertimbangkan sebagai jalur yang lebih aman ketimbang moda transportasi lainnya.
Bagaimanapun juga, kecelakaan tidak sepenuhnya dapat dihindari. Bahkan kecelakaan pesawat terbang termasuk dalam kategori mematikan, terutama karena faktor ketinggian dan energi yang terlibat.
BERITA REKOMENDASI
Kecelakaan pesawat Japan Airlines dengan nomor penerbangan 123 pada 1985 dianggap sebagai salah satu insiden mematikan pesawat bermesin satu sepanjang sejarah. Kala itu, 505 penumpang dan 15 kru pesawat meninggal dunia.
Penerbangan Japan Airlines 123 menggunakan pesawat jenis Boeing 747SR. Ia terbang dari Haneda Airport di Tokyo menuju Bandara Internasional Osaka. Setelah 12 menit lepas landas, pesawat tersebut tiba-tiba mengalami beberapa ledakan dekompresi parah yang menghancurkan stabiliser vertikal pesawat hingga merobek sebagian ekor pesawat.
Tekanan di kabin pesawat menurun sehingga penumpang terpaksa menggunakan masker oksigen. Dekompresi ini juga menyebabkan para kru kehilangan kendali atas sistem hidrolik pesawat. Akibatnya, pesawat membelok tidak terkontrol dan menabrak pegunungan Takamagahara, sekira 100 km dari Tokyo.
Penyelidikan resmi menunjukkan bahwa pilot mampu mempertahankan pesawat di udara selama 32 menit setelah kehilangan tekanan. Beberapa ahli penerbangan merekonstruksi kecelakaan tersebut melalui simulasi penerbangan, tetapi tidak ada yang berhasil mencegah tabrakan keras. Bahkan tidak ada juga yang mampu menjaga pesawat tetap di udara lebih dari 12 menit setelah ada malfungsi di sistem hidrolik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar