Reinkarnasi memiliki makna tersendiri bagi Ajax Amsterdam. Karena, penjelmaan kembali ke dalam tubuh lain itu seakan menjadi kenyataan manakala Ajax menjalani musim ini. Keberhasilan mereka masuk final Liga Europa nyatanya nyaris sama dengan apa yang mereka alami ketika menembus partai final dalam kompetisi serupa pada 1991/92 dan Liga Champions 1994/95.
Satu hal yang membuat pencapaian tahun ini hampir mirip dengan dua musim tersebut adalah kondisi skuat yang tak jauh berbeda. Dengan rataan usia yang hanya 22,7, Peter Bosz--pelatih Ajax musim ini--berupaya meniru pencapaian era sebelumnya yang sukses mendapatkan gelar Piala UEFA dan Liga Champions hanya dalam kurun waktu tiga tahun.
Perjalanan Ajax di Liga Europa musim ini sendiri terbilang begitu menarik. Meski tak selalu membawa pulang tiga angka, Ajax berhasil menyuguhkan penampilan yang menawan--kendati hanya mengandalkan pemain-pemain muda. Berikut perjalanan mereka hingga akhirnya mencapai final.
Setelah gagal bermain di Liga Champions usai kalah di babak play-off, Ajax langsung berlaga di Liga Europa pada jalur grup. Menghadapi Celta Vigo, Standard Liege, dan Panathinaikos di Grup G, Ajax lebih difavoritkan ketimbang ketiganya.
Hasil tersebut terbukti saat menghadapi Panathinaikos dalam laga perdana. Kendati sempat kesulitan, Ajax akhirnya membawa pulang tiga poin. Laga selanjutnya pun demikian, setelah mereka mengalahkan Liege 1-0 lewat gol Kasper Dolberg.
Kesulitan baru melanda anak asuh Peter Bosz pada partai ketiga. Menghadapi Celta di Balaidos, Ajax hanya mampu bermain imbang 2-2. Beruntung, dalam partai kedua yang digelar di Amsterdam ArenA, Ajax berhasil memetik tiga angka.
Dua laga terakhir tak lagi menentukan setelah Ajax mengoleksi sembilan poin buah tiga kali kemenangan. Meski gagal meraih poin penuh setelah imbang dengan Liege pada pertandingan terakhir, Ajax tetap lolos dan mengunci klasemen Grup G dengan status juara grup.
Babak 32 Besar
Keberhasilan melaju sebagai juara grup membuat Ajax menghadapi lawan yang cenderung lebih mudah. Namun apesnya, pada babak 32 besar, Ajax harus berjumpa dengan Legia Warsawa yang lolos setelah menempati peringkat ketiga Liga Champions.
Dalam partai perdana, Ajax yang tampil kesulitan hanya mampu mengakhiri laga dengan skor 0-0. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Lasse Schone dalam laga kedua. Bermain di Amsterdam ArenA, Ajax berhasil lolos usai memetik kemenangan 1-0.
Babak 16 Besar
Di fase ini, Ajax bertemu dengan wakil Denmark, FC Kopenhagen, yang lolos usai mengalahkan Ludogorets Razgrad. Meski diprediksi memenangkan dua leg, jalan Ajax untuk lolos jelas tak akan mudah.
Benar saja, Kopenhagen memberi tekanan yang begitu berat. Laga pertama bahkan berakhir dengan kekalahan 2-1. Namun, lagi-lagi Amsterdam ArenA memberikan kekuatannya. Menjalani partai kedua di stadion yang mampu menampung 53.000 penonton ini, Ajax meraih kemenangan 2-0 dan memastikan lolos dengan agregat 3-2.
Perempat Final
Semakin mengerucutnya kompetisi membuat lawan juga semakin sulit. Jagoan Jerman, Schalke 04, akhirnya menjadi lawan Ajax usai ditentukan lewat undian. Selain lawan yang cukup seimbang, kesulitan terbesar Ajax adalah memainkan leg I di Amsterdam ArenA.
Benar saja, meski menang 2-0 di leg I, Ajax harus berjuang hingga perpanjangan waktu di leg II. Lewat perpanjangan waktu, Ajax akhirnya berhasil lolos setelah Nick Viergever dan Amin Younes mencetak gol dan menutup laga dengan skor 3-2.
Olympique Lyonnais menjadi lawan Ajax di babak semifinal. Laga ini, bahkan diprediksi lebih sulit, karena selain Lyon memiliki kualitas di atas Ajax, mereka juga menghadapi lawan yang jauh lebih berat, seperti AS Roma dan Besiktas.
Dan kembali, leg II jadi kunci keberhasilan Ajax. Lewat drama 90 menit, Ajax harus mengakhiri laga dengan kekalahan 3-1. Kendati kalah, Ajax berhasil lolos karena pada laga perdana, mereka memetik kemenangan dengan skor 4-0.
Lewat masing-masing perjuangan, Manchester United akhirnya menjadi lawan Ajax dalam partai final. Dalam final yang akan digelar di Friends Arena, Solna, Swedia, Ajax lagi-lagi harus tampil sebagai kuda hitam.
Meski demikian, Ajax tak boleh dipandang dengan sebelah mata oleh lawan. Pasalnya, kapabilitas pemain muda mereka, seperti Dolberg, diyakini setara dengan pemain muda Manchester United, layaknya Marcus Rashford.
Total 14 laga tak semuanya dilalui Ajax dengan kemenangan. Kendati tak sempurna, prestasi mereka masuk ke final tetap harus diapresiasi, karena mereka menunjukkan apa yang dikatakan oleh novelis Thomas Wolfe: "Anak muda adalah perwujudan kekuatan, keberanian, dan kepercayaan diri."
Mampukah darah mudah Ajax Amsterdam menjungkalkan United yang lebih matang? Menarik dinantikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar