Sesungguhnya Natalina tidak benar-benar merayakan lebaran. Ia bahkan tidak berpuasa selama Ramadan. Itu semua memang tidak dilakukan Ina, begitu ia disapa, karena ia adalah seorang Kristen. Semua itu dilakukannya lantaran tugasnya sebagai seorang istri dan seorang ibu bagi suami dan anaknya yang seorang muslim.
Sepanjang siang hingga sore ia sibuk di dapur. Menjelang Magrib, keluarganya sudah berkumpul di ruang keluarga. Kusnandar, suaminya, serta Iqbal Syafii anak pertamanya sudah menunggu saat-saat berbuka puasa terakhir. Begitu opor matang, mereka langsung mengambil piring, nasi dan mulai makan. Sementara Ina melanjutkan tugas lainnya, ia menyiapkan baju dan alat salat untuk suami dan anaknya, karena keesokan paginya mereka akan melaksanakan salat Id.
"Aku menjalankan tugasku sebagai istri dan ibu, meski suami dan anak beda agama, ya aku tetap harus menyiapkan segala sesuatunya untuk mereka, dari menyiapkan baju buat salat ied sampai masak opor," kata Ina.
Perihal kebiasaan masak opor saat lebaran itu sempat membuat Iqbal bertanya-tanya. Saat ia duduk di bangku SMP, terbersit dalam benaknya satu pertanyaan konyol: bagaimana bisa seorang Kristen bisa masak opor saat lebaran?
"Aku pikir orang Kristen enggak bisa masak opor, soalnya kan kalau Natalan enggak masak opor. Nah kalau pas lebaran memang biasanya makannya opor. Mamaku itu Kristen, bisa dan mau masak opor buatku dan papa yang muslim. Apa enggak aneh?" kata Iqbal mengingat masa kecilnya.
Pertanyaan itu tidak pernah ditanyakan Iqbal langsung pada ibunya. Ia menyimpannya dalam hati.
Ina justru mendapatkan pertanyaan yang tidak lebih konyol dari masak opor. Suatu sore, Ina berkunjung ke rumah guru mengaji Iqbal yang tinggal tak jauh dari rumah. Guru ngaji itu bercerita tentang Iqbal yang beberapa kali bertanya soal perbedaan agama dalam keluarga.
"Bu, mamaku itu Kristen, kalau saya puasa terus yang masak untuk buka dan sahur itu mama, apa puasa saya bisa batal?" kata Ina menirukan pertanyaan Iqbal pada guru mengajinya. Saat itu, Ina tertawa. "Ya, itu yang membuat aku terharu, momen paling aku ingat. Waktu itu Iqbal masih SD atau SMP begitu."
Memiliki keluarga yang berbeda agama tidak serumit yang dibayangkan orang. Ina menganggap hal itu tidak ada bedanya dengan keluarga lainnya. Hal-hal yang dilakukannya, bagi Ina, memang sudah tugasnya sebagai ibu. Ia juga menyiapkan takjil untuk masjid dekat rumah kala kebagian giliran menyumbang. Di kampungnya, Klitren, Yogyakarta, ada kebiasaan selama bulan puasa masing-masing keluarga secara bergantian menyumbang takjil di masjid.
Tidak cuma menyiapkan takjil saja, Ina juga yang memaksa Iqbal untuk ikut kegiatan di Tempat Pengajian Alquran. Iqbal ingat, setiap sore ia selalu disuruh lekas mandi dan ikut mengaji di masjid. Iqbal menurut saja. "Kan, setiap sore itu memang ada TPA, ya walau beda agama, saya bawa Iqbal ke sana, biar dia bisa belajar agama," ujar Ina.
Keputusan Ina membawa Iqbal ke TPA menjadi hal yang disyukuri Iqbal ketika sudah dewasa. Iqbal sadar keluarganya bukanlah keluarga yang religius, sementara itu lingkungan tempat tinggalnya pun tidak sepenuhnya baik.
"Aku tahu mama pengin aku bisa ngaji, bisa jadi anak yang baik. Apalagi kalau lihat lingkungan sekitar, kalau tidak dibentengi agama, bisa repot," beber Iqbal.
Tidak hanya urusan mengaji, Iqbal juga merasa bersyukur selama bulan puasa mamanya selalu menyiapkan hidangan buka dan sahur. "Kalau sahur mama bangunin, membelikan makanan kalau memang tidak masak. Ya apa yang dilakukan mama, itu yang membentuk saya sekarang," ujar Iqbal.
Lebaran kemarin pun mereka rayakan bersama. Hari raya itu tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Ina memasak opor ayam untuk keluarga, Iqbal yang sudah membangun keluarga sendiri pun pulang ke rumah. Tidak ada yang amat spesial dalam lebaran kali ini, seperti halnya ihwal perbedaan keyakinan antara ibu-anak Natalina dan Iqbal. Semuanya biasa saja.
Baca juga artikel terkait LEBARAN atau tulisan menarik lainnya Mawa Kresna
(tirto.id - krs/msh) </b>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar