Senin, 31 Juli 2017

KISAH Sukses Tri Utomo Pasarkan Batik Semarangan

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Berawal dari keperihatinannya melihat pengrajin batik semarangan terkendala masalah pemasaran, Tri Utomo kemudian fokus memfasilitasi para pengrajin untuk menjualkan produk batiknya hingga batik semarangan dikenal seperti sekarang ini. Berikut wawancara wartawan Tribun Jateng, M Zainal Arifindengan pemilik Omah Batik dan Tenun "Ngesti Pandowo" itu, beberapa waktu lalu.

Bagaimana awal anda terjun ke dunia kerajinan batik?
Berawal pada 2006 lalu dari keinginan istri Wali Kota saat itu, yaitu Sinto Sukawi bersama Dekranasda Kota Semarang, yang ingin mengembangkan batik semarangan. Saat itu sudah ada beberapa perajin batik semarangan, tapi belum ada kampung batik. Kemudian dikembangkanlah Kampung Batik untuk menghidupkan lagi kerajinan batik yang dulu pernah sudah pernah ada. Untuk itu dipanggil pelatih batik dari beberapa daerah untuk melatih warga yang mau belajar membatik. Seiring berjalan waktu, warga sudah bisa menghasilkan produk batik. Namun, mereka terkendala pemasaran. Jadi bisa membuat batik, tapi bingung menjualnya. Dari situ, saya tidak ingin produk batik semarangan ini dikuasai orang luar, sehingga saya berkomitmen untuk memasarkannya.

Tri Utomo pemilik Omah Batik dan Tenun Ngesti Pandowo Semarng
Tri Utomo pemilik Omah Batik dan Tenun Ngesti Pandowo Semarng (tribunjateng/m sofri kurniawan)

Kapan anda mulai fokus ke bisnis pemasaran batik semarangan?
Saya mulai fokus itu 2011. Saat itu akan ada kunjungan Menteri Koperasi. Saya prihatin kalau Menteri datang ke kampung batik, tapi tidak ada produk batiknya. Akhirnya saya datangkan batik dari beberapa perajin batik di Semarang ke Kampung Batik. Saat itu cukup sukses menyulap kampung batik. Berawal dari itu, setelah kunjungan Menteri saya memutuskan untuk menjadi wirausaha menjadi ujung tombak pemasaran batik semarangan dan mengembangkan kampung batik. Saya akhirnya membangun visi misi mengenalkan batik semarangan dan menjualnya.

Bagaimana kondisi awal anda memasarkan batik semarangan?
Dulu masih minim orang yang mengenal batik semarangan. Orang tahunya kalau batik ya Pekalongan atau Solo. Berawal dari tiga motif saja, kemudian saya bawa ke mana-mana untuk dijual. Dari itu, banyak masukan dari pelanggan untuk menambah warna dan motifnya. Hingga akhirnya berkembang seiring permintaan pelanggan.
Saya sendiri saat itu juga belajar secara otodidak ke ibu-ibu di kampung batik ini. Awal mencoba membuat motif merak, kemudian setelah jadi, meski produk gagal, bikin motif lainnya, yakni warak ngendog. Kemudian ambil beberapa motif khas Semarang seperti cinde laras dan ikon Semarang lainnya.

Apakah pemasaran batik semarangan langsung ramai sejak awal?
Tidak. Butuh waktu untuk mengenalkan ke pelangan-pelanggan. Saya kenalkan ke instansi-instansi. Saya juga ikut berbagai pameran batik. Tapi tidak bisa langsung mendorong ke penjualan. Justru penjualan itu meningkat dari adanya kunjungan-kunjungan istri pejabat ke kampung batik yang membeli oleh-oleh. Istilahnya getok tular. Saya paham barang kalau semakin lengkap, maka akan menjadi jujukan. Karena melihat kualitas batik semarangan yang bagus, akhirnya setiap ada kunjungan dari mana-mana selalu diajak ke kampung batik ini. Karena banyak permintaan hingga akhirnya saya kewalahan. Dari situ, saya menggandeng 10 penjahit untuk dibina dan memenuhi permintaan pasar. Belakangan saya mulai timpang antara kapasitas produksi batik dan pemasaran. Akhirnya saya fokus ke pemasaran saja.

Apa kendala yang anda hadapi dalam memproduksi batik semarangan?
Awalnya kendala hanya lokasi produksi bagaimana yang ramah lingkungan. Kalau produksi hanya di perumahan seperti ini, tidak akan berkembang besar. Limbah air dan pewarna dalam membuat batik itu banyak dan membuat pencemaran lingkungan. Karena itu saya bekerja sama dengan penjahit yang di pinggir kota.
Kalau kendala pemasaran, bagaimana menangkap permintaan pelanggan sehingga prospek yang mulai kencang dengan berbagai permintaan itu bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan pemasaran batik semarangan. Karena saat itu produksi masih minim. Untuk menanggulanginya, saya menjalin kerjasama beberapa pengrajin batik. Saya kerjasama dengan pengusaha lain, baik dalam hal bahan baku maupun produk.

Adakah pengalaman yang menyakitkan saat memasarkan produk batik semarangan?
Saya sadar sebagai pemula. Saat itu batik semarangan dianggap aneh, warnanya kumal. Saya diledek di beberapa tempat. Tapi itu justru jadi motivasi. Bagi saya, kalau hidup di wirausaha, pelanggan itulah sandaran hidup. Bukan modal. Sehingga harus ada inovasi produksi dan tempat harus nyaman. Ledekan dan masukan kemudian menjadi inspirasi saya mengembangkan motif dan model.

Apakah pemasaran anda melalui toko online juga?
Tidak. Saya hanya memasarkan di toko fisik di kampung batik ini. Saya pernah menerima palatihan online. Tapi saya tidak pernah memasarkan secara online. Justru beberapa reseller yang menjual secara online. Justru cepat di toko fisik secara langsung. Reseller yang aktif sampai sekarang sekitar 10 orang. Mereka sampai luar Semarang.

Apa kiat agar sukses menjadi seorang pemasar produk?
Kita harus melayani pelanggan sepenuh hati. Karena aset kita itu pelanggan. Bukan barang atau modal. Kalau pelanggan habis, barang dan modal akan habis. Kemudian mengerti keinginan pelanggan, jangan sampai pelanggan kecewa.
Kebaikan itu tidak akan tersampaikan 3 kali dalam sebulan. Tapi kalau kekecewaan bisa 10 kali dalam sehari. Karena saya melayani dengan baik dan ramah sehingga dampaknya luar biasa. Banyak yang datang itu justru dari referensi yang pernah beli di saya.

Bagaimana kondisi penjualan batik semarangan sekarang?
Awalnya kadang terjual, kadang tidak. Setelah beberapa inovasi warna dan motif dan ada yang cocok, penjualan mulai meningkat. Sekarang kalau kondisi normal, bisa sampai 50 potong per hari. Kalau momen tertentu seperti masuk sekolah seperti sekarang, bisa 100 potong per hari.

Berapa modal awal anda?
Awalnya modal gak banyak, sekitar Rp 10 juta-15 juta saja. Sempat ada kesalahan pengelolaan uang, uang untuk usaha ini saya pakai buat beli properti. Kemudian saya sempat menambah modal dengan pinjam di bank untuk mempercepat produksi dan penjualan. (tribunjateng/cetak/nal)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search