SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Minggu pagi 26 Desember 2004. Seperti biasa, pagi itu saya duduk di warung kopi kampung sambil membaca surat kabar yang baru saja diantar loper.
Layaknya warga lain, saya memesan satu teh dan mengambil beberapa potong kue. Suasana kedai kopi hari itu terlihat ramai. Jalan di depan warung juga terlihat padat dilalui kendaraan bermotor.
Aktivitas warga desa, berjalan seperti biasa. Di sebelah timur saya melihat matahari baru saja naik memancarkan cahayanya menerangi alam semesta.
Suasana alam begitu tenang nyaris tak ada angin yang melambai pepohonan. Saya melanjutkan membaca koran. Saat itu isu politik konflik GAM dan Pemerintah RI masih mewarnai halaman surat kabar.
Saat sedang membuka halaman koran, saya merasakan kursi dan meja tempat saya duduk bergerak tiba-tiba. Semakin lama-semakin kuat, sehingga membuat saya merasa ada sesuatu yang sedang terjadi.
Jarum jam di dinding warung menunjukkan pukul 07.58 WIB. Beberapa detik kemudian, tanah yang saya injak berguncang hebat. Saya menengadahkan kepala.
Tampak ranting pepohonan bergoyang, seperti menari-nari di antara celah dedaunan. Saya pindahkan pandangan ke tiang listrik. Ternyata juga sama. Kabel listrik di pinggir jalan pun bergoyang.
Semakin lama semakin kuat. Saya baru tersadar, ternyata sedang terjadi gempa bumi! Saya memutuskan keluar dari warung kopi, karena takut gardu listrik di depan warung akan jatuh.
Saya memilih ke lapangan sepak bola Bukit Sembilan, sekitar 10 meter dari warung kopi. Saat itu gempa masih terasa kuat. Saya tak bisa berjalan. Sempoyongan dan jatuh.
Dengan setengah merangkak, saya berusaha terus berjalan. Hingga akhirnya saya berpegangan di tiang gawang. Saya merasa sedikit bisa berdiri meskipun harus membungkuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar