Sepeninggal ayahnya, tak ada lagi yang menafkahi 10 anak ini. Adik bungsu Izhak, Muhammad Khaerul, baru berusia 19 bulan. Untuk itu, Izhak harus mengambil alih tugas merawat adik-adiknya itu, termasuk memikirkan pembiayaan sekolah tujuh adiknya.
Beruntung, ada adik keduanya, Aslan (19). Dia membantu pekerjaan sehari-hari menyadap enau untuk membuat gula merah menjadi tumpuan hidupnya.
Izhak mengatakan, kisahnya boleh ditulis oleh JawaPos.com. Saat dimintai konfirmasi, dia membetulkan penulisan namanya, Muh Izhak, buĀkan Ishak.
"Boleh saja. Tapi, jangan ditambah-tambah bahwa saya tidak terima bantuan pemerintah. Soalnya saya tetap terima bantuan dari pemerintah. Ada program keluarga harapan (PHK). Adik-adik saya sekolah juga terima dari program peĀmerintah Kartu Indonesia Pintar (KIP)," ujarnya.
Izhak menambahkan, dirinya memang menerima beasiswa bidik misi pada 2013. Dia mengambil studi di Teknik Kimia ITB, tetapi kandas di tengah jalan karena tanggung jawab. "Saya mundur hampir dua tahun lalu, pada 2016," dia menjelaskan.
Alumnus SMAN 3 Polewali itu menuturkan, sehari-hari dirinya mengandalkan penghasilan dari menyadap enau bersama adik keduanya, Aslan.
"Aslan putus sekolah semenjak kelas IV SD. Sekarang usianya 18-19 tahun. Penghasilan dari gula merah itu cukup," paparnya.
Untuk adiknya yang lain, semua masih sekolah. Dia juga masih memikirkan mencari pekerjaan tambahan. Dia masih punya beban membiayai tujuh adik-adiknya.
"Ada yang kuliah satu orang di STAIN Parepare. Lainnya ada yang duduk di TK, SD, MTs," ungkap pria kelahiran 1995 itu.
Izhak juga berharap kelak bisa kembali melanjutkan kuliah. Hanya, setelah ada yang menjaga adik bungsunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar