
Bagi seorang Nana Wannee, 55, sang suami, Ronald Edmond Wannee adalah segalanya. Mereka hidup bersama sejak menikah pada 18 Februari 1984. Tidak saja merasa bahagia. Mereka berdua telah melewati masa sulit bersama. Termasuk membesarkan satu-satunya anak mereka, Zefanya Enzo Praditya Wannee yang merupakan penderita down syndrome.
Namun sejak 18 Oktober 2011, yang mahakuasa telah mengambil Ronald. Sejak itu pula, Nana harus berjuang sendirian melawan gejolak kesedihan dalam dirinya. Sang suami meninggal karena stroke perdarahan di batang otak. Sekitar 10 jam setelah jatuh, dan pingsan, nyawanya tak terselamatkan.
Sekitar jam 11 malam di ICU salah satu rumah sakit Surabaya Barat, Ronald menghembuskan napas terakhir. Nana tidak bisa mendeskrisikan perasaannya saat itu. Memang banyak keluarga dan teman gereja yang disampingnya saat itu.
Tapi tetap saja, semua keputusan menyangkut jenazah Ronald ada di tangannya. ''Dalam kondisi berkabung seperti itu, keponakan saya bertanya, tante jenazah om mau diapakan?, saya tidak ingin membayangkan rasa itu lagi,'' ucapnya.
Namun Nana tahu diri. Dia paham kondisinya yang harus memutuskan semuanya sendiri. Tidak ada pilihan lain selain bertahan. Dia menghadapi semua proses kremasi sang suami dengan tegar. Setelah itu, jangan ditanya prosesnya menata hati. Nana yang dikenal sebagai periang dan humoris menjadi pendiam. Dia menjadi pemurung dan kehilangan selera humor. Sedikit-sedikit menangis. Dia menjadi seperti itu sekitar dua tahun lamanya. Berat badan sampai susut lebih dari 10 kilogram.
Banyak yang memberi saran, supaya Nana banyak beraktivitas di luar rumah. Karena di dalam rumah bakal mengingatkan dia dengan mendiang suami. Namun Nana memilih untuk melawan pikiran tersebut.
Mau kemana dia pergi, pada akhirnya juga harus pulang ke rumah.
Apalagi, Nana setiap hari selalu mengurus anak semata wayangnya, Zefanya yang sangat bergantung dengan dirinya. Zefanya merupakan penderita down syndrome yang tidak bisa berjalan dan bicara. Sejak bangun tidur hingga tidur lagi, dia selalu memanggil Nana.
Sejak Zevanya lahir hingga sekarang usianya sudah 30 tahun, Nana lah yang memandikan hingga mengangkat tubuhnya yang lebih besar dari Nana. Kekuatan cinta seorang ibu, lanjut Nana, yang membuatnya bisa seperti itu.
''Zevanya adalah satu-satunya alasan saya untuk bertahan. Kalau saya boleh minta Tuhan kapan saya meninggal, saya ingin meninggal bersama anak saya,'' ucapnya dengan tegar.
Karena kondisi Zefanya juga, Nana memasrahkan bisnis peninggalan suaminya pada saudaranya. Dia memilih fokus merawat Zefanya di rumah. Kadang juga tenggelam dalam kenangan manis tentang Ronald. Terlepas dari kesedihannya yang mendalam, semua yang ditinggal oleh Roland adalah hal manis. ''Saya baru menyadari Ronald menanam kebaikan pada banyak orang, saat dia telah pergi,'' ungkapnya.
Nana merasakan dukungan dari keluarga dan teman dengan luar biasa. Pernah, salah satu saudaranya yang merupakan dokter spesialis jiwa (psikiater) datang berkunjung. Namun kondisi mereka sama. Saudaranya juga baru saja ditinggal meninggal oleh sang suami.
''Kami tertawa dalam kesedihan. Garwo (sigaraning nyowo/ belahan jiwa) kami mangkat. Dia bilang saya depresi, so what? Haha,'' ucap Nana lantas tertawa. Satu hal yang Nana syukuri, dia dan Ronald dipisahkan oleh maut. Mungkin, menurut sang pencipta, suratan ini adalah yang terbaik untuk hidupnya. Begitu pikir Nana. (*)
(ina/JPC)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar