Angka kecelakaan kerja, para penderes nira di Banyumas sangat tinggi. Risiko sebagai penderes nira, tidak hanya kematian namun juga cacat permanen. Bila meeeka cacat, merek tidak bisa bekerja sebagai penderes dan harus mencari pekerjaan lain.
"Di tahun 2016 saja ada 126 penderes jatuh meninggal dan cacat, 52 meninggal dan 74 cacat. Untuk tahun 2017, data sampai Oktober sudah ada 138 penderes terjatuh, 53 meninggal dan 85 cacat," kata Kasubag Sosial dan Kesehatan Bagian Kesra, Setda Kabupaten Banyumas, Tasroh.
Penderes air nira kelapa di Banyumas Foto: Arbi Anugrah/detikcom |
Tingginya angka kecelakaan dari para penderes yang terjatuh dari pohon kelapa selain sudah berusia lanjut dengan rentang usia 45 tahun hingga 55 tahun. Faktor lainnya yakni akibat para penderes terjerat hutang oleh para tengkulak. Karena setiap harinya gula hasil proses pemasakan dari air nira yang mereka sadap sudah dihitung. Mau tidak mau mereka harus menderes dan menghitung hutang yang harus mereka bayarkan dengan gula.
Untuk dapat menurunkan angka kecelakaan kerja bagi para penderes gula kelapa, Pemkab Banyumas juga berupaya memberikan bantuan berupa bibit kelapa genjah dan alat seperti sabuk pengaman, angkrek hingga tangga otomatis yang semuanya didesain dari tim ahli dari UGM.
"Itu sudah kita siosialisasikan, sudah kita perkenalkan, sudah kita beri sampel project, ternyata tidak produktif dipakai penderes. Alatnya ribet sehingga banyak yang tidak dipakai akhirnya mubazir, ratusan juta dana untuk alat bantu itu," katanya.
Selain itu, lanjut dia. Untuk membantu meringankan beban penderes yang memgalami kecelakaan, Pemkab Banyumas mengeluarkan Kartu Penderes yang berfungsi sebagai jaminan santunan bagi para penderes yang mengalami kecelakaan akibat terjatuh dari pohon.
Kartu tersebut dapat digunakan oleh para penderes yang mengalami kecelakaan untuk mencairkan santunan sejumlah Rp 5 juta bagi penderes yang meninggal dan Rp 10 juta bagi penderes yang mengalami cacat permaenen. Saat ini sudah sekitar 7.250 penderes terdata dalam kartu penderes yang diterbitkan oleh Disperindag Kabupaten Banyumas.
Kasus kecelakaan terjatuh dari pohon kelapa yang dialami Salimun (57) warga Rancamaya, Kecamatan Cilongok. Dia terjatuh saat menderes kelapa 30 tahun yang lalu.
Karena terjatuh dari pohon Salimun tidak bisa bekerja Foto: Arbi Anugrah/detikcom |
Dia saat ini tidak jadi penderes lagi. Dibantu sebuah tongkat kayu dia berusaha mengangkat kedua kakinya yang tidak bisa digerakkan lagi.
Saat ini dia bekerja membuat peti-peti kecil dari kayu untuk wadah telur. Sebelum terjatuh dari pohon kelapa 30 tahun lalu, Salimun yang merupakan warga RT 7/RW 4, Desa Rancamaya, Kecamatan Cilongok merupakan seorang lelaki yang gagah dengan seorang istri dan kedua anaknya. Meskipun harga gula saat itu masih dihargai Rp 280 per kilogramnya, dirinya mampu membeli sebuah rumah dan menghidupi keluarganya.
Namun Salimun terjatuh dari pohon kelapa usai menyadap air nira kelapa. Selama 18 bulan dirinya harus tergeletak diatas tempat tidur dan menahan sakit. Kedua telapak kakinya tidak dapat digerakkan karena syaraf kakinya sudah tidak bisa berfungsi akibat terjatuh dari ketinggian sekitar 20 meter.
"Waktu kejadian itu anak pertama saya baru berumur 5 tahun dan mau saya daftarkan masuk TK, tapi karena saya jatuh jadi tidak jadi didaftarkan, anak kedua itu masih berumur 1 tahun. Perasaan saya saat itu apakah akan dikasih umur yang panjang atau sampai disini aja," kata Salimun.
Dia mengatakan, tak ada bantuan dari pemerintah untuk penderes yang mengalami kecelakaan saat itu, semua penderitaannya harus ditanggung sendiri. Bahkan untuk mendapatkan penghasilan, istrinya terpaksa bekerja serabutan hingga akhirnya dia memutuskan untuk bangkit dan belajar berjalan untuk membantu perekonomian keluarga yang sudah semakin sulit tersebut.
"Saya harus bisa belajar jalan, saya berusaha untuk bisa berjalan untuk cari nafkah menghidupi anak istri bagaimana caranya. Kalau mau diceritakan sangat menyedihkan, pendapatan dari istri saya yang kerja serabutan tidak cukup, tapi yang penting bisa kasih makan anak-anak, kalau saya dan istri tidak makan tidak apa-apa, yang penting anak-anak," ujarnya.
Meskipun sulit untuk melakukan aktivitas dan harus berpegangan atau menggunakan tongkat saat melakukan aktivitas, Salimun yang mempunyai keahlian lain kadang sering diminta oleh para tetangganya untuk membuat meja kayu, dipan, tempat sampah dari anyaman bambu (Cikrak). Setelah itu dia ikut salah satu juragan membuat peti untuk wadah telur dengan bayaran Rp 20 ribu per hari.
"Saya dipasrahin buat peti, sudah 20 tahun lebih, Pak Rofik yang punya. Penghasilannya Rp 20 ribu per hari, satu peti dihargai Rp 300 rupiah," katanya.
Menurutnya peti-peti kecil itu dikirimkan ke Purwokerto, Bumiayi, Cilacap dan Cirebon. Dlam sehari bisa mendapatkan upah Rp 20 ribu.
"Dapat Rp 20 ribu, kalau lebih ya rejeki saya, rata-rata segitu, itu maksimal, kalau minimal 10 ribu," jelasnya.
Dia berharap, dengan keterbatasan tersebut akibat cacat permanen yang dideritanya, dia bersyukur masih mempunyai usaha sendiri tanpa harus bergantung kepada orang lain.
Salimun bekerja jadi tukang kayu Foto: Arbi Anugrah/detikcom |
"Bisa buat apa saja asal bukan pekerjaan berat, karena sudah tidak bisa kemana-kemana, mau buka usaha tidak punya modal. Dulu anak sempat minta saya jangan kerja tapi saya tidak enak, tidak ada penghasilan apa-apa," jelasnya.
Berbeda dengan Salimun yang masih dapat mencari penghasilan sendiri dari keahliannya meskipun sulit dalam beraktivitas. Beberapa penderes yang mengalami cacat permanen akibat terjatuh hampir rata-rata sudah tidak lagi bisa melakukan aktivitas secara normal.
Salah satunya yakni Mustorih (55) warga Desa Rancamaya yang saat ini hanya bisa beraktivitas di rumahnya saja. Dia mengalami cacat permanen setelah terjatuh dari pohon kelapa yang mengakibatkan kaki kanannya patah dan telapak kakinya bolong. Sudah hampir 15 tahun, Mustorih beraktivitas di rumah dengan kebutuhan hidup yang ditanggung oleh anak perempuannya yang bekerja di Jakarta.
Bahkan untuk merawat kakinya tersebut, keluarga Mustorih sudah menghabiskan dana hingga puluhan juta rupiah untuk biaya operasi hingga obat-obatan yang hingga kini kadang masih harus dikonsumsinya.
"Bapak jatuhnya duduk dengan kaki kanan yang menjadi tumpuan awal, saat itu langsung ditolong orang dan dirawat ke rumah sakit sekitar setahun setengah karena harus menjalani dua kali operasi. Semua biaya sendiri tanpa ada bantuan," kata sang istri, Nasilem (50).
Menurut Ketua Koperasi Nira Satria, Nartam Andera Nusa mengatakan, untuk proses pengurusan santunan bagi penderes yang mengalami kematian terdapat sekitar 15 poin persyaratan agar santunan dapat dicairkan. Ada 13 poin persyaratan untuk penderes yang mengalami cacat agar dapat santunan Rp 10 juta.
Sedangkan rata-rata penderes merupakan keluarga miskin yang minim pengetahuan. Mereka benar-benar membutuhkan dana akibat terkena musibah.
"Birokrasi yang panjang dan banyak petani tidak mengetahui prosedur yang harus dilalui karena tidak ada sosialisasi bagaimana cara untuk mengklaim saat mereka kena musibah. Itu yang harus diperbaiki," jelasnya.
(arb/bgs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar