Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya terkena penyakit karena faktor genetis. Tapi, penyakit jenis ini memang tak bisa terhindarkan, apalagi jika masing-masing dari pasangan menjadi carrier, seperti dalam kasus penyakit talasemia. Naik turun kehidupan berumah tangga dirasakan oleh Sahabat Femina bernama Anita berikut ini, yang harus menghadapi kenyataan anak mereka menderita penyakit genetis.
Bagai petir di siang bolong. Itu yang dirasakan Anita dan suaminya, Fajar (45), ketika mendengar vonis dokter yang mengatakan anak pertama mereka, Shafina (12), menderita talasemia. Apalagi, istilah talasemia belum begitu akrab di telinga mereka, ketika diagnosis penyakit genetis yang belum ditemukan obatnya ini ditujukan kepada Shafina saat baru berusia lima tahun.
Kala itu, berbagai rangkaian pemeriksaan pun dijalani untuk mengecek kondisi Shafina. Hasilnya, Anita dan Fajar bukan penderita talasemia, tapi keduanya menjadi carrier (pembawa) penyakit talasemia. Umumnya, pasangan yang keduanya adalah carrier, besar kemungkinannya akan memiliki keturunan yang menderita talasemia. Itu sebabnya, pasangan yang carrier talasemia disarankan untuk tidak memiliki keturunan.
Saat menikah, baik Anita maupun Fajar memang tidak pernah mengetahui kondisi mereka. Mereka juga tidak pernah melakukan pemeriksaan sebelum pernikahan, yang ternyata penting dilakukan. Tapi, semua sudah terjadi. Bagi Anita dan Fajar, kondisi Shafina harus mereka terima dengan lapang hati.
"Awalnya sempat berkecamuk, antara rasa sesal dan kesal. Mau marah, tapi enggak tahu sama siapa. Mau marah ke suami, tapi saya juga ikut menyumbang bakat penyakit ini. Saat seperti inilah keluarga menjadi pelarian saya untuk berkeluh kesah," cerita Anita.
Beruntung, saat kondisi Anita down, Fajar bisa lebih ikhlas menerima vonis dokter. Daripada larut dalam emosi, ia berusaha mencari tahu tentang penyakit talasemia. "Bisa dibilang, Fajarlah yang pertama bangkit dan optimistis kami bisa melalui semua ini," tambah Anita.
Talasemia adalah penyakit bawaan, di mana sistem tubuh penderitanya tidak bisa memproduksi hemoglobin yang normal. Akibat kondisi ini, sel darah merah cepat sekali berkurang sehingga penderita mudah mengalami anemia kronis. Gejala yang terjadi pada Shafina pun menunjukkan tanda-tanda ia menderita talasemia, di antaranya perut yang membesar, kulit wajah pucat, dan tubuh selalu terlihat lemas.
"Pertumbuhan fisik Shafina memang tidak seperti anak seusianya, cenderung lebih lambat. Kami sempat berkonsultasi tentang hal ini saat Shafina berusia 4 tahun, tapi saat itu dokter tidak menyebutkan sama sekali tentang talasemia. Hingga kami bertemu dengan seorang profesor di rumah sakit besar di Jakarta yang menjelaskan tentang kondisi Shafina dan menyarankan perawatan yang dibutuhkan," kata Anita.
Sebagai ibu, Anita sangat tidak berdaya ketika harus melihat Shafina keluar masuk rumah sakit dan rutin melakukan transfusi darah. "Bayangkan, anak sekecil dia harus sudah akrab dengan jarum suntik. Awalnya, saya tidak tega melihatnya. Selalu ayahnya yang menemani. Tapi, Shafina lebih tenang ketika saya ada di sisinya, sehingga saya memberanikan diri untuk mendampingi dia," kata Anita, yang memutuskan untuk berhenti kerja demi mengurus anaknya. Transfusi darah menjadi salah satu cara untuk memperpanjang hidup penderita talasemia, selain operasi tulang belakang yang membutuhkan biaya tinggi dan donor.
Menerima cobaan besar di saat hubungan pernikahan mereka memasuki tahun ketujuh, Fajar dan Anita sama-sama belajar menahan emosi dan memahami kondisi pasangan. "Kalau dituruti, mungkin kami bisa bertengkar tiap hari, karena kondisi yang stressful, banyak pikiran dan letih. Namun, keadaan Shafina jauh lebih penting bagi kami. Dia menjadi pengingat kami untuk kuat dan selalu bersama, karena memang kebersamaan kami lebih utama untuk kesehatannya," ungkap Anita.
Anita percaya, akan selalu ada cahaya di balik kesusahan. Hal inilah yang ia rasakan ketika harus memenuhi biaya pengobatan Shafina yang tidak sedikit, Fajar mendapatkan kenaikan jabatan. Meskipun hal itu berarti tanggung jawab Fajar makin besar, dan ia tidak bisa terus-menerus izin dari perusahaan. Dalam kondisi ini, mereka harus berbagi peran. Saat Shafina harus menjalani transfusi darah, Anita yang menemani. Fajar fokus mengumpulkan biaya pengobatan anaknya. Pembagian tanggung jawab ini mereka rundingkan bersama.
"Justru sekarang ini kami jadi terbiasa berdiskusi, apa pun masalah yang terjadi kami sangat terbuka dan bercerita. Jadi, kalau ada rasa kesal, segera kami ungkapkan. Saya suka mengajak dia makan malam kalau mau ngobrol sambil 'curhat' agar suasananya lebih santai. Biasanya, jalan tengah bisa kami temukan bersama," tutur Anita.(f)
Baca juga:
80% Penyakit Langka Disebabkan oleh Kelainan Genetik
Hari Penyakit Langka: Perjuangan Panjang Mendapatkan Obat Penyakit Langka
Kisah Sejati: Mengatasi Perbedaan Pendapat Demi Kesembuhan Anak dari Penyakit Langka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar