Sabtu, 20 Januari 2018

Pulau Sisilia dan Kisah Pemuda Gambia Pengejar Mimpi

Sewajarnya, bocah berusia 16 tahun seperti Abu masih memikirkan pendidikan atau sekadar bersenang-senang. Nasib buruk mengubah hidup Abu, dia tidak merasakan kasih sayang kedua orang tuanya karena kehilangan mereka pada usia yang masih sangat muda.

Setelah kepergian orang tuanya, Abu kecil selalu melihat ke arah lautan. Pemuda itu berharap nasib baik dapat menolongnya suatu hari nanti. Kondisi yang semakin berat membuat Abu mengambil keputusan sulit ketika memasuki usia belasan.

Abu memutuskan untuk mengejar mimpi menjadi pemain sepak bola ke Eropa ketika berusia 14 tahun. Bukan sekadar mengejar mimpi, dia juga berharap dapat memperbaiki peruntungannya. Italia menjadi negara Eropa yang menjadi tujuan Abu. Hal itu karena Negeri Pizza terkenal sebagai pencinta si kulit bundar dan secara geografis cukup dekat dengan daratan Afrika.

Sejatinya jarak antara Gambia dengan Italia tidak bisa dibilang dekat. Kedua negara terpisah sekitar 6000 kilometer. Jarak itu memiliki luas hampir sama dengan tiga kali perjalanan dari Jakarta ke Aceh.

"Saya meninggalkan Gambia bersama beberapa teman ke Senegal dan menghabiskan waktu selama dua pekan. Setelah itu, saya tinggal di Mali tiga pekan, kemudian menuju Burkina Faso dan Niger, sebelum tiba di Libya. Saya tinggal selama tiga bulan di sana," tutur Abu.

Seperti kebanyakan imigran asal Afrika, Libya merupakan titik penyeberangan menuju Eropa lewat Laut Mediterania. Meski terdengar mudah, nyatanya penyeberangan itu cukup berbahaya. Faktanya, sebagian besar imigran justru meninggal ketika tengah menyeberangi laut tersebut. Abu sendiri termasuk salah satu yang beruntung.

"Saya dan teman-teman berada dalam kapal yang sama, tetapi terjadi kerusakan. Saat itu, kami duduk sedikit berjauhan. Saya ingat air mulai memasuki kapal kami. Satu per satu teman saya tenggelam, tetapi saya tidak bisa menyelamatkan mereka," kenang bocah asal Gambia itu.

Setelah berbagai kesulitan itu, Abu berhasil menginjakkan kaki di bumi Italia, tepatnya di Kota Messina. Pemuda berambut gimbal itu hanya memiliki masing-masing sebuah kaus dan celana ketika tiba di negeri pizza tersebut.

"Saat itu saya tidak punya sepatu. Orang-orang di Sisilia sangat baik kepada saya. Tanpa bantuan mereka, mungkin saya sudah meninggal. Mereka mmberikan saya pakaian dan sepatu, serta pekerjaan," kata Abu.

"Sebagai seorang Muslim, saya tidak menemukan kesulitan tinggal di Italia yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani. Mereka semua baik dan selalu membantu saya," lanjutnya.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search