Kamis, 15 Februari 2018

Kisah Nenek-Nenek Sebatang Kara dan Seekor Anjing yang Setia

KARANGANYAR - Perempuan itu mengenakan penutup kepala berwarna hijau tosca dengan manik-manik warna emas di bagian depan. Ia duduk di kursi panjang di teras samping rumahnya. Seekor anjing kampung warna cokelat bermalas-malasan di bawah kursi. Si anjing sontak mengangkat kepala saat serombongan orang menuju rumah majikannya.

Perempuan tadi berdiri menyambut. Ia lantas mengulurkan kedua tangan ke arah rombongan orang yang datang. Sulasmi adalah nama perempuan warga Dukuh Soko, RT 002/RW 005, Desa Kalijirak, Tasikmadu, Karanganyar, itu. Usianya sudah menginjak 60 tahun dan tinggal sebatang kara di rumah berdinding batako di tepi Sungai Kalijirak.

BERITA TERKAIT +

"Ibu saya meninggal satu tahun lalu karena kecelakaan. Sejak itu saya seorang diri. Bapak meninggal sejak saya kecil. Hanya bersama anjing ini. Depi namanya. Buat teman daripada sendirian," kata Sulasmi saat berbincang dengan wartawan di rumahnya, Rabu 14 Februari 2018 kemarin, sebagaimana dikutip dari laman Solopos.com.

Sulasmi mengaku penglihatannya sudah kabur. Ia pun meminta maaf bila tidak menatap mata lawan bicara saat berbincang. Informasi yang didapat, Sulasmi mengalami glaukoma.

Sebelum menderita glaukoma, Sulasmi didiagnosis mengidap diabetes. Ia menjalani rawat jalan. Setiap satu bulan, dia ke RSUD Karanganyar untuk mengecek kesehatan.

"Diantar Bu Fatkul ke rumah sakit. Naik motor. Sudah lima tahun ini bolak-balik ke RSUD Karanganyar," tutur dia.

Perempuan yang dia panggil Bu Fatkul ini adalah Catur Maryati, yang merupakan istri Babinsa Desa Kalijirak, Serda Fatkul Hadi. Jarak rumah Catur dengan Sulasmi sekitar 300 meter. Setiap bulan, ibu rumah tangga itu mengantar Sulasmi ke RSUD Karanganyar.

"Besok Jumat (16/2/2018) itu kontrol lagi. Ya saya antar. Lha saya hanya ibu rumah tangga. Enggak bisa bantu uang. Saya hanya bisa bantu dengan tenaga," ujar dia sambil sesenggukan.

Catur mengaku terenyuh setiap kali mengingat kisah masa kecil Sulasmi. Kisah Sulasmi dia dengar dari orangtuanya. "Waktu kecil itu, kata orangtua saya, Mbah Sulasmi ini sering ngasak singkong. Ambil singkong yang enggak layak jual. Hidupnya susah sejak kecil," tutur dia.

Secercah harapan muncul pada 2013 silam. Rumah yang berdiri di sebidang tanah di tepi Sungai Kalijirak diperbaiki melalui program perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH). Tetapi, kondisi kayu yang sudah lapuk membuat genting rumah bagian tengah nyaris ambruk. Warga sekitar berinisiatif membuatkan sepetak ruang untuk tidur dan aktivitas lain.

Bangunan lain di tepi sungai yang belum direnovasi dimanfaatkan sebagai dapur. Tanah tempat Sulasmi mendirikan rumah itu miliknya sendiri, tetapi dia mengaku tidak memiliki dana untuk balik nama.

"Dulu waktu masih sehat, saya merantau ke mana-mana. Pernah ke Sumbawa. Uang saya tabung untuk beli tanah. Tapi belum sempat saya balik nama, mahal," cerita dia.

Glaukoma dan diabetes membuat aktivitasnya terbatas. Sulasmi tidak bisa bekerja seperti dulu. Bahkan dia tidak bisa memelihara kambing karena kesulitan mencari pakan. Untuk sekadar memasak di dapur pun dia harus mengandalkan tangan. Perempuan sebatang kara itu menggunakan tungku dari batu bata yang dipoles semen.

"Tidak kelihatan. Ya diraba-raba. Tangan yang satu menyalakan api pakai kertas. Tangan satunya meraba-raba api sudah menyala atau belum. Ya panas, tapi bagaimana lagi wong tidak terlihat," tutur dia.

Sebelumnya

1 / 2

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search