Jumat, 30 Maret 2018

Kisah Pasien di ICU/ICCU

Oleh: KH HUSIN NAPARIN
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi Kalsel

Layanan Intensive Care Unit/Insentive Cardiac Care Unit (ICU/ICCU), adalah layanan rumah sakit yang memberikan asuhan keperawatan secara terkonsentrasi dan lengkap. ICU/ICCU sangat penting untuk menangani pasien-pasien yang mengalami kritis pada organ-organ vitalnya, seperti gangguan jantung koroner.

Ruangan ini dilengkapi alat-alat canggih pendetiksi seperti EKG, alat penunjang jalan napas, defibratur dan lain-lain. Unit ini memiliki tenaga yang terlatih khusus, berisi peralatan pemantauan dan dukungan khusus untuk pasien yang membutuhkan perawatan serta observasi intensif dan komprehensif karena syok, trauma, atau kondisi yang mengancam jiwa.

Apabila seorang pasien dimasukkan ke ruang ICU/ICCU, tidak ada lagi pendamping, keluarga boleh membesuk pada waktu tertentu atau dipanggil apabila pasien sudah gawat. Di Arab Saudi -entahlah di Indonesia atau di negeri-negeri lain- ada lagi rumah sakit yang menangani pasien kronis (menahun), namanya RS Pangeran Sultan (20-an kilometer) jalan lama Makkah, arah ke Jeddah.

Seorang famili penulis bernama H Syamhudi, asli Sungai Jingah (Banjar) lama mukim di Saudi, sudah beranak bercucu. Ia kena stroke dan dirawat di ruang ICU RS An-Nur Makkah. lalu dipindah ke RS Pangeran Sultan ini, karena tidak diharapkan akan sembuhnya.

Aku sempat berkunjung ke sana, Ramadan tahun lalu. Aku lihat pasien dari berbagai bangsa, berasal dari berbagai kota besar di Saudi. Seram, tidak ada suara, sepi; yang terdengar hanya bunyi alat-alat detiksi medis .. tik .. tik.

Alangkah daifnya manusia, tergeletak di atas dipan, mata terpejam dan ada yang mulutnya ternganga. Sesekali terdengar rintihan. Beratus orang, salah satunya familiku H Syamhudi. Aku ucapkan salam, tetapi tidak ada respons. Aku berdoa, "Ya Allah berilah yang terbaik untuk saudaraku ini."

Tetapi, alangkah terhormatnya mereka, dilayani setiap waktu, dibersihkan kotoran BAB-nya. Para perawat membolak-balik badan mereka satu-persatu, arah ke kanan atau ke kiri seperti halnya kisah Ashabul-Kahfi. Mereka bekerja penuh kasih sayang, padahal tidak ada sama sekali hubungan keluarga. Benarlah firman Allah, "Tengoklah orang sakit, kalian akan menemukan Aku di sisinya" (Hadits Qudsi).

Berbeda dengan H Kurtubi (saudara sepupu H Syamhudi), ia tidak bisa berkunjung ke sana karena sempitnya waktu. Ia berdoa kepada Allah di depan Kakbah, ingin bertemu. Ajaib sekali, saudara H Syamhudi menggigil, lalu dipindahkan ke rumah sakit di Makkah; hal ini memberikan kesempatan kepada H Kurtubi untuk dapat menengoknya.

Bayangkan, sepeninggal H Kurtubi pulang ke Indonesia, H Syamhudi dipindahkan kembali ke RS Pangeran Sultan di luar kota Makkah, disitulah ia meninggal dunia pada malam Jumat, disalatkan di Masjid Al-Haram dan dikuburkan di Makkah.

Jemaah umrah yang lain, ingin menengok kawannya yang dirawat di ICU di sebuah RS Saudi tiga jam sebeum jam besuk. Ia dicegat petugas, tidak diizinkan masuk kendati alasan sudah hendak berangkat ke Indonesia. Di negeri kita, barangkali pembesuk yang datang dari jauh masih bisa diberi tolerensi. Bila hal seperti ini terjadi, ia harus tahu diri, bertemu sebentar, bersalaman dan berdoa.

Pernah terjadi seorang pembesuk masuk ruang ICU mengunjungi keluarganya, langsung berbicara keras menanyakan hal-hal yang tidak perlu, "Kenapa pian sampai kaya ini, sudah lawaskah, pinandu juakah awan ulun." dan lain-lain pertanyaan. Si sakit tak bisa menjawab karena stroke. Ia ditegur petugas agar mencukupkan kunjungannya. Ia pun keluar setelah minta di foto berkali-kali dengan si sakit. Selang beberapa hari pasien ini meninggal dunia.

Demikianlah, banyak di antara kita yang belum mampu menyelaraskan diri sebagai pembesuk dengan kepentingan si sakit. Apabila pasien dinyatakan dokter istirahat total dan bukan jam besuk, tentu kepentingan si sakit/pasien yang harus dikedepankan. Pembesuk harus cerdas mempertimbangkan apakah keberadaannya melapangkan perasaan si sakit, atau ia harus mempersingkat kunjungannya, cukup hanya dengan bersalaman dan berdoa.

Pasien dan keluarganya pun disatu pihak harus lapang dada menerima kunjungan pembesuk, yang pada lahiriahnya seakan-akan kunjungan pebesuk mengganggu pasien, pada batiniahnya para tamu (pembesuk) itu menghantarkan rahmat Allah lewat senyum dan doa mereka.

Seseorang pernah bertanya kepada seorang shahabiyah Nabi SAW bernama Ummu Darda RA "Apa saja yang bisa membuat hati yang keras agar menjadi lembut?" Ia menjawab, "Tengoklah orang sakit, ikutlah mengantar jenazah orang yang meninggal ke kubur dan ziarahilah kuburan." (*)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search