Sempat terpuruk dalam kasus komik epigon berjudul Si Gagu dari Goa Hantu, Tatang S. bangkit dengan membuat komik punakawan.
Sebelum dikenal dengan karya Petruk dan Gareng, ia sempat menjadi pembuat komik cerita-cerita silat yang bayarannya paling tinggi di Bandung, salah satu kota yang paling banyak memproduksi komik waktu itu. Dari 700 jilid komik yang terbit pada 1970, menurut Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia (2008), 250 di antaranya terbit di Bandung.
Tatang S. menjadi salah satu saingan Ganes T.H., komikus yang melahirkan Si Buta dari Goa Hantu. Bahkan saking produktifnya, menurut Agung Wibowo dalam majalah Akar No. 1 Vol. 1, Maret-Mei 2011, Tatang S sempat terlibat dalam pusaran konflik dengan Ganes TH dan komikus lain yang tak terima dengan sikapnya.
Karena tergiur oleh tawaran penerbit yang menerbitkan karya-karya Ganes TH., Tatang S. membuat komik epigon Si Buta dari Goa Hantu dengan judul Si Gagu dari Goa Hantu. Berahi penerbit yang menggelegak untuk mengeruk keuntungan itu membuat Ganes T.H. mutung dan memutuskan kerjasama yang telah lama terjalin.
Malang bagi Tatang S., ternyata penerbit tersebut hanya menerbitkan karyanya sebanyak tiga edisi karena desakan para komikus lain yang menganggap ia telah menjiplak karya Ganes T.H.
"Tatang S. dicekal kalangan komikus dan usailah kiprahnya menggarap cerita komik silat, oleh sebab tidak ada penerbit yang mau menerima orang yang telah cemar sebagai penjiplak karya orang lain," tulis Agung Wibowo.
Hal ini membuat Tatang S. limbung karena tergusur dari komik silat yang menjadi pasar terbesar pembaca komik saat itu, terutama anak-anak muda yang menggandrungi cerita-cerita pertarungan penuh jurus dan muslihat. Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia (2008) mencatat bahwa mula-mula anak-anak muda menyukai komik silat (bergambar) seperti karya Ganes T.H., lalu kisah tak bergambar seperti karya Kho Ping Hoo.
Para Punakawan yang Laris Manis
Kasus tersebut tak lantas membuat Tatang terpuruk berkepanjangan. Pada 1980-an ia bangkit dengan membuat komik yang tokoh-tokohnya para punakawan. Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam Antara Tawa dan Bahaya: Kartun dalam Politik Humor (2012), punakawan adalah sosok karikatural dalam pewayangan Jawa sebagai representasi rakyat kelas bawah yang dalam berperan menghibur, mengasuh, membimbing, dan menjaga para ksatria yang berkuasa.
Selain Petruk dan Gareng, tokoh punakawan lain yang muncul dalam komik karya Tatang S. adalah Bagong dan Semar, meski kehadiran keduanya tak terlalu kerap. Namun, berbeda dengan konsep punakawan dalam pewayangan, dalam komik Tatang S. para punakawan tidak hadir sebagai pengasuh dari para ksatria. Mereka hadir untuk dirinya sendiri dan tidak melayani siapa pun.
Komik ini disukai oleh khalayak luas terutama rakyat kelas bawah yang merasa terwakili oleh karakter para tokoh yang dihadirkan oleh Tatang S. Petruk dan Gareng yang paling sering muncul kerap digambarkan sebagai anak muda pengangguran, kerja serabutan, banyak utang, dan sesekali mancing ikan untuk menghabiskan waktu. Meski kere, mereka adalah anak muda yang selalu menantikan malam Minggu untuk merayu perempuan pujaan, tampil necis, dan peduli lingkungan dengan rajin meronda.
Pemilihan tokoh punakawan, khususnya Petruk dan Gareng, sebagai pembawa cerita dengan karakter seperti itu, dalam catatan Gun Gun Gunawan dalam "Kajian Gaya Visual Storytelling Tatang Suhenra" (jurnal Demandia Vol. 01 No. 01, Maret 2016) adalah sikap Tatang S. untuk menyampaikan pesan bahwa kisah-kisahnya adalah cerita rakyat jelata, orang kebanyakan, dan masyarakat marginal yang ada di sekeliling pembaca dengan kehidupan yang penuh lika-liku masalah.
"Petruk, Gareng, dan Bagong merupakan representasi sosok pembaca dari kelompok masyarakat Indonesia yang memiliki kesulitan, kegundahan, dan menemukan masalah yang menghambat cita-cita atau mimpi mereka," tulisnya.
Secara umum, tema-tema yang diangkat oleh Tatang S. dalam komik Punakawan ada tiga: Romansa, Horor, dan Pahlawan Super. Semua tema ini amat kental dengan kehidupan rakyat jelata. Contohnya adalah komik yang berjudul Jodoh Lah Ya—yang dikutip oleh Binar Murgati Pardini dkk. dalam "Representasi Kelas Bawah pada Tokoh Punakawan dalam Komik karya Tatang S" (Jurnal Arkhais Vol. 07 No. 2 Juli-Desember 2016)—masalah asmara yang sering mendera kaum kecil karena perbedaan kondisi ekonomi sehingga kasih tak sampai, diangkat oleh Tatang S dan tergambar dalam percakapan berikut.
Petruk: Bukannya gak cinta aye sama dik Ani, tapi rasanya hubungan kita nggak seimbang.
Ani: Apa maksud Bang Petruk?!
Petruk: Dik Ani gak pantas punya pacar kayak abang karena abang orang gak punya alias kere.
"Hubungan cinta mereka [Petruk dan Ani] menunjukkan adanya oposisi biner antara kaya dan miskin, di mana hal tersebut menjadi kategori utama dalam penentuan calon pasangan. Nampak dalam petanda dalam teks tersebut bahwa terdapat kesenjangan sosial dalam konstruksi wacana mengenai cinta dalam masyarakat yang direpresentasikan dalam komik karya Tatang S," tulis Binar Murgati Pardini, dkk.
Hal lain yang sering diangkat oleh Tatang S. adalah tema horor atau hantu. Ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaannya pada 1977 yang berjudul "Manusia Indonesia". Menurutnya, salah satu ciri manusia Indonesia adalah percaya takhayul.
"Manusia Indonesia juga percaya pada segala rupa hantu, genderuwo, jurig, orang halus, kuntilanak, leak. Gamelan, gong juga ada yang bertuah, dan hanya boleh dimainkan pada waktu-waktu tertentu saja. Likantrofi, kepercayaan, bahwa manusia menjelma dalam binatang, tersebar luas di seluruh Nusantara kita," tulisnya.
Sejumlah komik Tatang S. memang sangat banyak mengangkat tema ini, seperti: Hantu Tukang Ojek, Ririwa, Hantu Darah Kotor, Pocong Slebor, Setan Emosi, Setan Perawan, Hantu Pohon Sawo, Dendam Mayat Busuk, dan masih banyak lagi.
Masyarakat Indonesia, khususnya kelas bawah yang akses pendidikannya terbatas, biasanya masih kental mempercayai hal-hal mistis. Inilah yang coba diangkat oleh Tatang S. dalam karya-karyanya. Perkampungan dengan permukiman yang jarang biasanya dijadikan sebagai latar dalam tema hantu ini.
Nuansa angker yang dipenuhi pepohonan sengaja diangkat untuk mendukung alur kisah. Suasana sunyi dan mencekam mengawali jalannya cerita. Tak jarang perkuburan pun dihadirkan untuk mendukung kengerian.
"Kampung di mana tempat angker berada, merupakan ciri dari masyarakat kelas bawah yang merekonstruksi masyarakat yang tidak 'modern' dan masih menggunakan nilai-nilai lama beserta kisah-kisah di luar nalar yang menjadi wajar dalam konteks ruang tersebut," tambah Binar Murgati Pardini dkk.
Perkembangan budaya populer seperti film tentang para pahlawan super yang diimpor dari luar negeri tak luput dari garapan Tatang S. Tokoh-tokoh seperti Batman, Robin, Superman, Megaloman, Spiderman, Robocop, dan The Flash ia hadirkan dalam karya-karyanya, tapi tetap dengan pendekatan lokal, sehingga yang muncul adalah judul-judul seperti Batman Tumaritis, Bisnis Cewek, Dua Jagoan, Ajal Cewek Mercurius, dan lain-lain yang tokoh utamanya tetap Petruk atau Gareng yang bekostum dan berkemampuan seperti para pahlawan super tersebut.
Pembelaan tokoh-tokoh pahlawan super terhadap warga kampung yang menjadi korban kejahatan menjadi bahan hiburan rakyat kelas bawah yang kerap termarginalkan, terpinggirkan secara ekonomi, dan menjadi bulan-bulanan hukum yang tak berpihak kepada mereka. Titik inilah yang coba diangkat oleh Tatang S. sebagai bentuk kepekaannya terhadap budaya populer sekaligus keberpihakannya terhadap masyarakat kelas bawah.
Tak mengherankan jika kemudian komik punakawan karya Tatang S. laris manis dan banyak diterbitkan oleh sejumlah penerbit seperti Gultom Agency, Jaya Agency, Sandro Jaya, Cahaya Agency, dan Nur Agency. Jangkauan distribusinya pun sampai ke perdesaan.
Tatang S .meninggal pada 2003 akibat penyakit diabetes. Namun, seperti sapaannya yang khas yang "… tak akan habis, … tak akan hilang", ia tetap diingat para pembaca karyanya. Seperti dikutip Agung Wibowo dalam majalah Akar No. 1 Vol. 1, seorang penggemarnya berujar: "Tatang S tak pernah mati."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar