Samani, 21, kini tampil beda. Mengenakan kaus hitam dipadu celana pendek dan sandal jepit, pria satu anak ini memang tak tampak seperti warga Suku Badui pada umumnya. Satu-satunya yang mencirikan dirinya masih bagian dari warga Badui adalah adanya ikat kepala warna biru dan hitam (lomar) yang dia kalungkan di lehernya. Ikat kepala warna biru dan hitam inilah yang menjadi identitas diri sebagai masyakarat Suku Badui Luar.
Satria, putra Samani alias Yayat, saat bermain dengan salah satu pengunjung di kediamannya, di Kampung Gajeboh, Desa Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten , Minggu (29/4) (istimewa)
Samani atau yang akrab disapa Yayat, dulunya adalah bagian dari warga Suku Badui Dalam. Saat JawaPos.com berjumpa dengannya empat tahun silam, dia masih 'gagah' memakai pakaian adat khas warga Suku Badui Dalam yang identik dengan warna putih. Ke Jakarta pun, dia masih berjalan kaki tanpa menggunakan alas kaki.
Namun, sejak dirinya mempersunting Sani, 18, seorang gadis dari warga Suku Badui Luar sekitar 2 tahun silam, maka praktis, sesuai aturan adat, dia harus keluar dari wilayah Suku Badui Dalam dan tinggal di wilayah Suku Badui Luar.
Semenjak saat itu kehidupannya pun sedikit berubah. Dia bisa jalan-jalan dengan menggunakan kendaraan bermotor, naik kereta api, memakai pakaian bebas seperti masyarakat luar Badui pada umumnya, serta memiliki handphone. Kini, dia pun sudah pandai mengirim pesan singkat melalui aplikasi WhatsApp kepada setiap pengunjung yang hendak di antarnya ke pemukiman Suku Badui Dalam.
"Aku di warung pojok ya belakang patung. Nanti kalau sudah sampai Terminal Ciboleger, kalau ada yang tanya bilang saja sudah janjian sama Yayat," demikian pesan singkat melalui aplikasi WhatsApp yang dikirim Yayat kepada JawaPos.com, sebelum melakukan perjalanan ke wilayah perkampungan Suku Badui Dalam, Sabtu (28/4) kemarin.
Hampir sepanjang perjalanan yang memakan waktu sekitar delapan jam untuk memasuki wilayah Badui Dalam, Yayat juga kerap sibuk memainkan handphone-nya. Tak jarang dia pun menyempatkan diri membalas berbagai pesan singkat dari beberapa koleganya ketika mendapat sinyal.
Berbeda dengan Yayat, Narip alias Idong, 23, sahabatnya, hingga saat ini masih mempertahankan adat dan budayanya. Setiap hari, dia pun masih mengenakan pakaian adat khas Suku Badui Dalam. Pergi ke mana pun juga masih jalan kaki tanpa menggunakan alas kaki, meski memakan waktu berhari-hari.
"Saya baru pulang dari Jakarta dengan jalan kaki. Di sana sekitar sepuluh harian," kata Idong kepada JawaPos.com, di kediamannya di Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Yayat dan Idong merupakan sahabat lama yang kini terpisah oleh aturan adat. "Kami berteman sejak kecil, dulu kita suka main bola pakai jeruk," kata Idong dengan semangat saat menceritakan kisah persahabatannya dengan Yayat.
Idong masih tinggal di kawasan Badui Dalam, karena memilih Asih, 23, perempuan Badui Dalam sebagai pendamping hidupnya.
"Saya menikah sudah sekitar empat tahun lalu. Dijodohkan orang tua," kata Idong dengan malu-malu. Kini, dari buah pernikahannya dengan sang istri, Idong memiliki seorang anak laki-laki bernama Carma, 2.
"Kasihan sampai sekarang belum bisa jalan," ucapnya memelas sembari melihat wajah Carma.
Sementara, sejak dua tahun lalu mendekati Sani, 18, seorang perempuan Suku Badui Luar, usai menikah, Yayat terpaksa tinggal kawasan Badui Luar bersama istrinya. Ini karena aturan adat tak memperbolehkannya lagi tinggal di wilayah Badui Dalam karena mempersunting orang Badui Luar.
"Rumah kami di Kampung Gajeboh, Badui Luar," kata Yayat. Dari hasil pernikahannya, Yayat dan Sani dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Satria, 2.
Meskipun kini keduanya tak tinggal lagi bersama di Kampung Cibeo, Badui Dalam, namun keduanya masih sering menjalin komunikasi. Biasanya ketika Idong akan menjual madu ataupun pernak-pernik benda kerajinan khas Suku Badui seperti gelang, kalung, dan kain tenun, maka Yayatlah yang biasanya membantu menjualnya.
Yayat juga terkadang ikut dengan Idong dan rombongannya ke Jakarta untuk menjual madu dan berbagai benda kerajinan khas Suku Badui pada umumnya.
Menurut Jaro Sami, salah satu tokoh masyarakat Kampung Cibeo, pada dasarnya tidak ada paksaan bagi warganya untuk menikah dengan siapa pun.
"Kalau menikah dengan warga Badui Luar bisa, tergantung dengan kesepakatan dua keluarga," jelasnya saat berbincang dengan JawaPos.com, di balai warga, sembari membuat tutus (tali pengikat atap rumah yang terbuat dari daun).
Namun, aturan adat menegaskan, jika seorang pemuda atau pemudi Badui Dalam menikah dengan orang luar, maka dia harus meninggalkan Kampung Badui Dalam. Mereka hanya boleh sesekali berkunjung jika ada keperluan.
"Di sini nggak boleh cerai dan beristri dua. Kalau melanggar hukum adat diasingkan," katanya.
Kendati demikian, jika ada salah satu dari pasangannya meninggal, maka adat memperbolehkan salah satu di antara mereka untuk menikah lagi. "Kalau ada yang meninggal boleh menikah lagi. Tunggu sekitar satu tahun," tukasnya.
Aturan adat inilah yang menjadikan Yayat dan Idong terpisah, meski sebenarnya mereka tetap ingin tinggal bersama di kampungnya.
(wnd/ce1/JPC)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar