Pegunungan Jalin adalah wilayah tempat latihan teroris kelompok Jamaah Islamiyah (JI) pimpinan Dulmatin. Yudi bersama tiga rekannya diciduk Densus karena terlibat pelatihan teroris di wilayah tersebut.
Di kamp pelatihan JI tersebut, Yudi berperan sebagai penyedia logistik dan menyiapkan fasilitas latihan bagi para mujahid, istilah yang digunakan Yudi untuk menyebut rekan-rekannya yang ikut berjuang dan mengikuti pelatihan di wilayah tersebut.
Sebelum masuk ke kelompok JI, Yudi merupakan lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), yang sekarang telah berganti nama menjadi IPDN.
Pada Januari 2011, Yudi dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara oleh pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dalam persidangan, Yudi terbukti memberikan bantuan dengan menjadi penunjuk jalan, bagi peserta pelatihan militer terorisme di Aceh.
Ia sempat dijebloskan ke tahanan di Polda Metro Jaya lalu dipindahkan ke Polda Aceh. Sebelum masa hukumannya habis, Yudi lantas dibebaskan. Ia keluar penjara pada pertengahan 2015 lalu karena mendapatkan remisi.
Yudi menceritakan dia awalnya terpapar ideologi radikal saat mengikuti pengajian khusus di Aceh, yang diisi oleh salah satu murid Aman Abdurahman.
Pengajian itu, kata Yudi, kerap kali mengajarkan paham atau doktrin radikal dari pemikiran Aman Abdurahman kepada para jamaahnya, termasuk mengatakan pemerintah adalah produk kafir.
Saat itu, Yudi posisinya masih bertugas sebagai PNS di Baitul Mal Kota Banda Aceh usai lulus dari STPDN.
"Jadi saya kalau tetap menjadi PNS, iman saya enggak sah, saya ikut kafir maka saya harus keluar," kata Yudi usai mengikuti diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (19/5) kemarin.
Saat itu pula, Yudi ingin mengenal lebih dekat sosok Aman Abdurahman yang ceramahnya kerap kali ia dengar di media sosial dan buku-buku yang dibacanya. Ia semakin tertarik untuk belajar soal ilmu-ilmu dari Aman secara langsung.
Saat itu, Aman sudah ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin akibat terorisme. Ia mengaku pernah diajak langsung oleh pengikut Aman mengunjunginya di Sukamiskin.
Yudi yang terus menerus mendengarkan ceramah dan membaca buku Aman semakin yakin bahwa Pemerintah itu kafir. Penilaian itu pula yang membuatnya memutuskan keluar dari pekerjaannya saat itu sebagai PNS, dan memilih bergabung di pelatihan militer teroris di Aceh.
"Di situ awalnya. Terus mulai baca-baca bukunya, dengar ceramah-ceramahnya. Kan ceramahnya live dari dalam penjara dulu. Ya saya ikut. Sampai akhirnya saya terpapar dan ikut pelatihan militer di Aceh," ujar Yudi.
Berjuang Hapus Doktrin Radikal
Yudi mengatakan butuh waktu cukup lama untuk menghilangkan paham radikal yang berada di otaknya tersebut. Ia mengaku menghilangkan doktrin tersebut tak bisa dilakukan secara instan, dan membutuhkan waktu bertahap selama lima tahun.
"Jadi secara bertahap, masuknya sekitar empat tahunan lebih, menghilangkannya sekitar lima tahun," kata dia.
Yudi mengibaratkan menghilangkan doktrin radikalisme ini seperti seseorang yang kecanduan narkoba. Ia mengatakan cara untuk menghilangkan kecanduan harus dikurangi dosisnya sedikit demi sedikit, bukan langsung diberhentikan penggunaannya
"Begitu juga dengan ini. Misalnya yang paling beratnya kan doktrin kebencian dan permusuhan. Hilangkan dulu itu sehingga kalau itu sudah hilang, bisa ada pendekatan-pendekatan hati," ungkapnya.
Begitupula dengan doktrin radikalisme. Fandi lantas mulai bisa mengurangi 'kecanduan' doktrin radikalisme ini perlahan lahan. Cara pertama, ia terbantu disadarkan oleh revisi pemahaman pemikiran yang dikeluarkan oleh organisasi Al-Qaidah.
"Kita lihat kok Al-Qaidah merevisi pemahamannya nih. Nah kita belajar. Jadi gini. Kalau orang kena doktrin ini kan semacam katak dalam tempurung ya, dia hanya belajar itu saja. Nah Al-Qaidah waktu itu mengatakan, Evaluasi diri kalian belajarlah dengan orang-orang di sekitar kalian," kata dia.
Setelah itu, Yudi mulai menemukan cara lain untuk menghilangkan kecanduan itu, dengan bantuan deradikalisasi melalui mekanisme mentoring dengan mantan pelaku teror lainnya yang sudah insyaf.
Salah satu yang menjadi mentor Yudi dalam proses deradikalisasi pikirannya itu adalah mantan terpidana Bom Bali I, Ali Imron.
"Nah kan saya minta, saya maunya Ali Imran saja, enggak usah polisi. Saya mau disidik, saya enggak mau, saya maunya sama Ali Imran, nah didatangkan sama pihak kepolisian akhirnya. Jadi dia datang untuk memberikan pencerahan," kata Yudi.
"Jadi Ali imran bertahap membuka pikiran dulu. Ia memberikan referensi buku-buku untuk saya, saya juga nyari nyari sendiri. Jadi prosesnya lama tergantung bagaimana kita mendalami proses pendalaman itu," tambahnya.
Yudi mengatakan bahwa proses deradikalisasi semacam itu sangat efektif untuk menyadarkan para pelaku teror dari doktrin radikal. Sebab, seorang teroris lebih memandang mantan pelaku lebih dekat ketimbang aparat keamanan dan pejabat dari lembaga pemerintah.
Yudi menjamin pelaku teror akan lebih jinak saat berkomunikasi dengan orang-orang yang dianggap pernah menjadi bagian dalam kelompoknya.
"Dalam kelompok teroris itu ada pandangan in group dan out group. Maka semua yang di luar mereka atau out group, itu akan dianggap musuh," ujar Yudi.
Lambat laun 'terapi' itu membuahkan hasil. Saat bebas, Yudi mengaku doktrin radikal itu sudah bersih total dari otaknya. Ia mengaku bisa lebih berbaur dan diterima oleh masyarakat di lingkungannya kembali.
"Masalahnya kalau doktrin masih ada kita di masyarakat sudah terlanjur benci, misal pilkada itu syirik, ya dia enggak bisa hidup di masyarakat. Ketika itu sudah kita buang kembali, Insya Allah masyarakat bisa terima," kata dia.
Lain dulu, lain sekarang. Yudi kini pelan-pelan mencoba terus menerus ingin membantu masyarakat melalui berbagai ilmu yang dimilikinya. Ia kini mulai melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia mengambil jurusan Pertahanan Nasional. Yudi juga aktif ikut menjadi pembicara tentang deradikalisasi bila mendapat undangan dari BNPT atau stasiun televisi.
Saat ini, Yudi tengah menjabat sebagai direktur di lembaga swadaya masyarakat Yayasan Jalin Perdamaian, yang fokus terhadap isu-isu perdamaian dan terorisme.
"Alhamdulillah setelah saya bebas sudah membuang paham radikalisme itu, sehingga saya sudah bisa berinteraksi ke masyarakat," ujarnya. (ayp/stu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar