Rabu, 09 Mei 2018

Kisah Rodi Susilo, Jalani Hidup dengan 'Hati' Sang Istri

Jakarta, CNN Indonesia -- Tak ada yang aneh dari sosok pria bernama Rodi Susilo. Ia tampak bugar dan ramah penuh senyum. Namun orang tak bisa menyembunyikan rasa kaget kala Dokter Toar J.M. Lalisang dari Dapertemen Medik Ilmu Bedah, RS Ciptomangunkusumo (RSCM) menyebutnya sebagai salah satu pasien transplantasi hati.

Dalam kesempatan konferensi pers di ruang kelas Ilmu Bedah RSCM, tanpa ragu ia memegang mikrofon dan bercerita bahwa dirinya menjalani transplantasi hati pada 2015 silam. Pendonor untuk transplantasi hati ini tak lain adalah Dhelistya Liza, sang istri.

"Istri saya memberanikan diri untuk memberikan setengah hatinya untuk saya, sehingga saat ini saya masih menikmati dunia," katanya saat ditemui pada Senin (7/5).


Perjalanan Rodi menuju transplantasi hati terbilang panjang. Berawal dari sakit punggung pada 2007, rupanya ini adalah awal dari infeksi virus hepatitis B. Pada 2009 ia divonis menderita hepatitis B akibat gejala berupa kulit yang berangsur berubah warna menjadi kuning.

Hepatitis B kemudian membuat organ hati mengalami sirosis atau kondisi jaringan hati yang sehat perlahan digantikan jaringan parut. Kondisi ini mengakibatkan fungsi hati menurun. Rodi bercerita kondisi penurunan fungsi hati ini berlangsung cepat. Mulai dari sini, beragam efek penurunan fungsi hati ia rasakan.

"Salah satu efeknya waktu itu timbul farises saluran pencernaan, kalau tidak dirawat bisa pecah. Endoskopi periodik, lalu pengecilan farises," lanjutnya.

Tak hanya ke saluran pencernaan, efeknya pun sampai ke ginjal. Hingga pada 2014 ia tak mampu lagi beraktivitas karena perut yang besar berisi cairan. Usaha mengeluarkan cairan di perut pun tidak mudah. Ia harus mengonsumsi obat tertentu agar dapat buang air kecil. Jalan keluar lainnya kadang perutnya harus disuntik untuk diambil cairannya.

Melihat kondisi ini, ia pun memutuskan untuk mencari opsi lain dengan menemui dokter di Medan, Sumatera Utara, kampung halaman sang istri. Di sana ia disarankan untuk melakukan transplantasi hati.


Rodi segera mendaftarkan diri ke RSCM untuk transplantasi hati. Kala itu ia sempat menggunakan media sosial untuk menemukan pendonor. Ia menuturkan bahwa ada seorang teman SMA yang bersedia. Namun, ia urung sebab rumah sakit menuntut pendonor memiliki golongan darah yang sama dengannya.

"Istri kan sama. Dia menawarkan. Waktu itu bingung. Anak masih kecil satu tahun, harus ada yang rawat. Nanti dua-duanya terbaring gimana," kata pria asal Yogyakarta ini.

"Lalu keluarga pada ke Jakarta, yang di Jogja, yang di Medan, mereka siap dan proses (transplantasi) bisa berjalan lancar."

Akhirnya sekitar 40-50 persen organ hati Dhelistya ditransplantasikan pada sang suami. Pasca operasi, mereka menjalani masa pemulihan. Pendonor tak butuh waktu lama untuk bisa pulih. Dhelistya hanya menginap empat hari di ICU dan 10 hari di ruang perawatan biasa. Dalam waktu singkat ia dapat kembali bekerja seperti biasa.


Bagi resipien, ia memerlukan waktu lebih lama untuk pulih. Ia menghabiskan waktu sebulan di ICU dan 10 hari di ruang perawatan biasa. Setelah keluar dari rumah sakit pun, rawat jalan masih berlanjut. Ia harus rutin mengonsumsi obat imunosupresan agar organ hati cangkokan tak dianggap benda asing oleh tubuh dan bisa berfungsi normal. Selain itu, ada pula obat untuk menangani virus hepatitis B.

Meski kini tak ada keluhan dan pantangan dari segi makanan, Rodi tetap menjaga kondisi badan agar tidak mudah terkena infeksi. Obat imunosupresan memang menjaga organ hati berfungsi normal, tetapi ia juga membuat sistem imun tubuh menurun.

"Kalau eks orang sakit pikiran lain. Jaga-jaga, ngatur diri. Aktivitas dibatasi, seperti orang lain kalau sudah capek ya berhenti," ujarnya disusul tawa. (rah)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search