Foto: Dok. Gading Safitri
Sayangnya, prestasi Sony menukik tajam karena mengalami serangkaian cedera fisik. PBSI pun mencoret namanya dari daftar pemain tunggal putra nasional pada tahun 2014. Ia didegradasi dan dikeluarkan dari pelatnas bulu tangkis Cipayung, Jakarta. Beruntung, Sony tidak pernah benar-benar sendiri saat berada di titik terendah itu. Gading Safitri (32) selalu berada di sisinya. Sang istri, yang juga berperan sebagai manajer dan pelatih, menggandeng tangan Sony untuk kembali mengayunkan raket.
Jadi 'Penonton'
Ada kesibukan baru di Jalan Medokan Asri Tengah, Surabaya. Sebuah bangunan sedang dalam proses penyelesaian akhir. Di dalamnya, bernaung enam lapangan bulu tangkis yang kelak dapat menjadi wadah pengembangan kualitas para atlet bulu tangkis yang datang dari segala penjuru dunia, dengan fokus utama para atlet muda di Surabaya.
Bagi Sony dan Gading, bangunan bernama Sony Dwi Kuncoro Badminton Center (SBC) itu ibarat jejak kaki mereka. Uang pembangunannya diperoleh dari hasil kemenangan Sony di berbagai turnamen bulu tangkis. "Sejak awal bertemu dan sampai kapan pun, kehidupan kami digerakkan oleh bulu tangkis," tutur peraih medali perunggu tunggal putra, di Olimpiade Athena 2004 ini, memutar kenangan.
Pertemuan keduanya berawal saat Sony mengikuti kejuaraan Indonesia Terbuka di Surabaya. Sony sebagai pemain, Gading sebagai penonton. Saat itu, usia mereka baru 17 tahun. Perjumpaan mereka berlangsung singkat, karena Sony harus segera kembali berlatih di pelatnas. Sementara Gading tetap tinggal untuk melanjutkan pendidikan di kota kelahirannya itu.
Meski singkat, perkenalan itu ternyata sangat membekas. Atas informasi dari teman, mereka saling mencari tahu nomor telepon. Belakangan, keduanya pun aktif berkomunikasi via telepon. Jadwal latihan Sony yang ketat dan disiplin membuat keduanya hanya bisa bertelepon di akhir pekan. "Waktu itu belum punya handphone. Kalau mau telepon, saya harus ke wartel (warung telepon)," ujar wanita kelahiran 1 Juli 1983 ini, tertawa kecil.
Dua bulan aktif berkomunikasi lewat telepon, Sony dan Gading pun sepakat untuk menjalin kasih. Menurut Gading, Sony yang pertama kali memastikan bahwa pujaan hatinya itu belum punya kekasih. Namun, ingatan Sony justru mengatakan sebaliknya. Keduanya penuh kemesraan mengenang peristiwa penting yang terjadi pada tahun 2002 itu.
Jarang bertemu langsung membuat Sony jadi lupa seperti apa wajah Gading. Sementara Gading justru lebih mudah mengingat wajah Sony karena sering melihat sosok atlet pemegang juara Djarum Indonesia Super Series 2008 itu muncul di media cetak lokal dan nasional. "Akhirnya, Gading kirim foto kepada saya. Supaya saya ingat wajahnya, 'Oh, ini, toh, yang sering saya telepon,'" ujar Sony, tertawa.
Saat itu, Sony tidak jarang mengajak Gading menonton pertandingannya di beberapa turnamen di Indonesia. Meski begitu, Gading mengaku hanya menonton aksi sang kekasih dari deretan kursi penonton paling belakang. Ia takut kehadirannya diketahui pelatih atau pengurus PBSI yang harus menjaga pemain untuk tetap fokus bertanding.
Kedekatan yang terbina lewat percakapan telepon selama hampir 7 tahun sudah cukup meyakinkan hati Sony untuk melamar Gading. Di antara persiapan Sony untuk berangkat ke Kejuaraan Dunia 2009 di Hyderabad, India, mereka menikah pada 24 Juli 2009 di Surabaya.
Babak Baru
Setelah menikah, Sony mengajak Gading tinggal di Jakarta. Sony memilih tempat tinggal yang tak jauh dari pelatnas agar sang istri bisa lebih sering melihatnya berlatih. Setelah menikah, Gading pun tak perlu lagi datang ke pelatnas secara diam-diam untuk menunggui suaminya berlatih. Resmi menjadi istri Sony, Gading jadi lebih leluasa mendampingi suaminya itu, baik ketika berlatih maupun bertanding.
Diakui Gading, kebiasaan mendampingi Sony di tepi lapangan ternyata mengasyikkan. Dari situ pula, ia mulai lebih cermat memperhatikan kondisi fisik dan teknik permainan sang suami. "Tapi, saat itu saya tidak pernah menceritakan hasil pengamatan saya ke Sony. Dulu dia tidak suka ngomongin bulu tangkis ketika di luar lapangan," ungkap wanita yang dulunya sempat menjadi atlet bulu tangkis ini.
Saat Sony terus-menerus didera cedera fisik yang mengganggu permainannya, seperti saat babak kualifikasi Sunrise Modi Memorial India
Open Grand Prix 2011 dan London Games 2012, Gading masih tidak berani menyampaikan hasil pengamatannya di lapangan. Ia khawatir, Sony yang terbiasa dilatih oleh pelatih-pelatih kelas dunia, seperti Joko Supriyanto, Hendrawan, Agus Dwi Santoso, dan Li Mao itu keberatan menerima masukan dari Gading.
Tak lama setelah bertanding di turnamen tersebut, prestasi Sony makin menurun. Peringkatnya pun merosot keluar dari posisi 100 besar dunia. Kondisi itu membuat PBSI lalu mengeluarkan nama Sony dari squad pemain tunggal putra baru tahun 2014. "Saat itu, rasanya sangat menyakitkan. Tanpa bulu tangkis, saya enggak tahu harus melakukan apa," kenang Sony.
Setelah didegradasi oleh PBSI, Sony pun mengajak Gading untuk kembali ke Surabaya. Selama beberapa bulan, Sony menggantung raket dan sempat kehilangan arah. Sementara itu, Gading menyibukkan diri menonton video beberapa pertandingan bulu tangkis para pemain dunia, seperti Lin Dan dan Chen Long dari Cina, serta Lee Chong Wei dari Malaysia. Sembari menonton, Gading juga berdiskusi dengan sang ayah, Subechan, yang juga merupakan pelatih bulu tangkis. Dalam diam, wanita penyuka musik ini mencoba memperkaya wawasannya tentang bulu tangkis. Bukan untuk dirinya, melainkan untuk Sony yang sedang patah arang.
Setelah merasa cukup bekal, Gading memberanikan diri berbicara tentang bulu tangkis kepada Sony. Awalnya, suaminya itu menolak dengan tegas. Namun, karena tak ingin melihat suaminya terus berduka, Gading terus mencoba. Ia paham benar bahwa bulu tangkis adalah dunia Sony. Saat itu Gading berkata kepada Sony, "Yuk, ikut pertandingan lagi, Sayang. Kalau saya enggak bisa bawa kamu naik ke podium juara tahun ini, saya mundur, deh!"
Melihat kegigihan wanita yang ia cintai, ayah dari Divya Amanta Kuncoro (5) dan Naraya Aisha Kuncoro (2) ini pun bersedia kembali mengayun raket. Ia tidak peduli pada omongan miring orang lain yang menganggapnya aneh karena menjadikan istri sebagai manajer dan pelatih.
Ketekunan Sony membuahkan hasil. Gelar juara Victor Indonesia International Challenge 2015 berhasil ia raih dengan mengalahkan tunggal putra asal Korea Selatan, Jeon Hyeok Jin, dengan skor 22-20 dan 21-15.
Kemenangan itu membuat Gading makin bersemangat menyusun program latihan sesuai dengan kondisi fisik Sony. Ia mempelajari kelemahan dan kekuatan suaminya sekaligus menganalisis pola permainan calon lawan-lawannya. Selangkah demi selangkah, lewat berbagai kejuaraan, kepercayaan diri Sony kembali tumbuh.
Dengan mantap Sony melangkahkan kaki ke podium tertinggi atas kemenangannya di Chinese Taipei Open 2015 di Taipei. Sempat terhenti di babak perempat final pada turnamen Yonex Sunrise India Open 2016, ia kemudian 'membayarnya' dengan berhasil merebut kembali gelar juara Singapore Open Superseries 2016. Sebelumnya, gelar tersebut pernah ia raih pada tahun 2010. Sony pun tercatat sebagai pemain tunggal putra Indonesia ketiga yang dua kali berturut-turut menjuarai turnamen tersebut, mengikuti jejak Hariyanto Arbi dan Taufik Hidayat.
Ketika kemenangan itu menjadi perbincangan hangat di media, Gading menanggapinya tanpa jumawa. Kemenangan itu ia anggap sebagai penyembuh luka suaminya. "Saya hanya ingin dia enjoy melakukan sesuatu yang ia cintai. Kalau sudah enjoy, hasilnya pasti baik," tutur wanita lulusan Magister Kenotariatan Universitas Airlangga, Surabaya, ini.
Seperti dalam permainan bulu tangkis, posisi shuttlecock tidak bisa selamanya melambung. Ia harus jatuh dan mendarat di lapangan hijau sebelum bisa bangkit kembali menyerang lawan. Sony dan Gading sudah melalui hal itu. Love will find a way.(f)
Cempaka Fajriningtyas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar