2 Jun 2016
Rempah yang mendunia melalui jalur sutra, menjadikan makanan juga ikut 'mempersatukan' dunia.
Makanan yang kita santap saat ini tidak lagi terkotak-kotak pada satu wilayah saja. Kini, dengan mudahnya kita dapat menyantap makanan dari suatu negeri yang jauh dari tempat asalnya. Coba saja, kini Anda dapat dengan mudahnya mencicipi sushi persis sama dengan yang dicicipi di Ginza, Tokyo. Atau, kini Anda juga dapat mencicipi sandwich khas Vietnam sama seperti yang dijual di kaki lima kota Hanoi.
Sama juga halnya untuk urusan bumbu dan rempah. Dengan mudahnya Anda bisa memasak makanan dengan bumbu yang dulunya susah Anda temukan di Jakarta. Misalnya, kecap ikan dan daun ketumbar. Sepuluh tahun lalu tom yam goong asal Thailand, umumnya masih dinikmati hanya di resto-resto. Apalagi bila ingin memasaknya, tidak mudah, karena bahan-bahan pembuatnya sangat sulit didapat.
Kini, daun ketumbar (coriander) dan nam pla (kecap ikan Thai) bisa dengan mudahnya Anda beli di supermarket Jakarta. Bukan lagi di supermarket khusus yang hanya menjual bahan-bahan impor, tapi sudah di supermarket biasa. Atau, jika Anda ngidam ingin makan lasagna dengan resep asli dari Italia, pasta lasagna beku siap santap bisa dengan mudahnya Anda beli dan tinggal dihangatkan di microwave.
Masih Terkotak-kotak
Makan ternyata bukan sekadar asal makan. Jika dilihat lebih jauh, dari makanan akan terlihat status sosial, nilai seseorang, dan juga kesehatan seseorang. Terlebih lagi, dari makanan juga akan tergambar pertumbuhan dan perkembangan ekonomi atau refleksi perubahan pola perdagangan.
Ungkapan paling terkenal untuk makanan ini berasal dari Jean Anthelme Brillat-Savarin, seorang gastronome asal Prancis. "Tell me what you eat, and I will tell you what you are," tuturnya, seperti dikutip dari bukunya yang berjudul The Physiologie of Taste yang terbit pada tahun 1825. "Kalimat tersebut sebenarnya tidak hanya berhenti di situ saja. Bahwa seseorang dapat dilihat dari cara makannya. Lebih jauh lagi, makan akan menunjukkan identitas seseorang. Bahkan bisa jadi, usia seseorang pun dapat diterka dari makanannya," urai Iwan Meulia Pirous, MA, pengajar di Jurusan Antropologi FISIP UI.
Dulu, makanan memang dikotak-kotakkan atas wilayah geografis dan juga atas tradisi dari masing-masing daerah. Tapi, dunia terus berubah dan berkembang. Apalagi kemudian terjadi perang yang melibatkan beberapa wilayah. Makanan menjadi tidak 'steril' milik satu wilayah saja. Contohnya, saat bangsa Arab menjajah Eropa pada abad pertengahan. Tebu yang hanya tumbuh di Eropa kemudian dibawa pulang oleh bangsa Arab ke kampung halaman mereka. Atau, saat Cina menjajah Jepang, kacang kedelai pun masuk ke dalam khazanah kuliner negeri Matahari Terbit ini.
Sebenarnya, tak hanya penjajahan yang membuat makanan mengalami perubahan. Perpindahan penduduk pun turut berperan. Cokelat 'terbang' ke barat daya Prancis berkat orang gipsi. Budak-budak dari Afrika membawa okra dan teknik masak menggoreng saat pindah ke Kepulauan Karibia dan Amerika Selatan. Begitu juga dengan adanya ikatan perkawinan antarkerajaan. Saat Catherine de Medici dari Italia tiba di Paris tahun 1533, ia membawa serta puluhan koki dari Italia. Selain itu, ia juga memasukkan artichoke ke dalam khazanah kuliner Prancis. Saat Raja Louis XVI menikahi Marie Antoinette dari Lorraine, sauerkraut jadi makanan paling fashionable di kota mode ini.
Arus perpindahan makanan makin tak terbendung pada awal abad ke-19 saat transportasi mulai berkembang pesat. Tidak lagi tergantung waktu, aneka jenis makanan selalu bisa ditemukan di seluruh belahan dunia. Setiap harinya, sayuran organik dari California, ikan turbot segar dari perairan Prancis yang dibungkus dengan dry ice, sarden segar dari Portugal, tiram dari Selandia Baru, dan durian dari Thailand, mendarat di berbagai bandara di dunia. (f)
Heni Pridia
Konsultan: Iwan Meulia Pirous, MA, pengajar Jurusan Antropologi FISIP UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar