Rabu, 01 Juni 2016

KISAH TRANSMIGRAN PIR: Kami Bukan Lagi Warga Buangan

KISAH TRANSMIGRAN PIR: Kami Bukan Lagi Warga

Kelapa sawit menjadi salah satu komoditas vital yang telah menghidupi para transmigran sejak era Orde Baru.

Ilustrasi

Bisnis.com, PELELAWAN - Soeharto adalah nama yang tak bisa dilupakan Rachmat Semekto ketika bercerita soal kesuksesan warga transmigran program PIR alias perkebunan inti rakyat di Genduang, Pangkalan Lesung.

Dari program transmigran PIR yang dibuat pada era Presiden RI kedua itulah Semekto dan ribuan KK yang ditempatkan di Pelelawan, Riau kini menikmati kesejahteraan. "Yang membuat kami begini ini Pak Harto," ujarnya, Selasa (31/5/2016) malam.

Kavling 2 hektare sawit yang dimiliki Ketua Koperasi Unit Desa itu membuatnya bisa menyekolahkan dua anaknya ke Universitas Gadjah Mada.

Bagi Racmat, tujuannya ikut transmigran memang untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya, kalau perlu ke luar negeri. Salah satu anaknya pernah mengenyam pendidikan singkat selama 6 bulan di Jerman.

Dua hektare lahan itu merupakan jatah awal, dan kini banyak warga yang telah memperluas lahannya. Dahri, misalnya, warga asal Pemalang yang datang ke Pelalawan pada 1988 itu kini memiliki puluhan hektare lahan sawit dan mampu menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi. Rumahnya pun terbilang mentereng dan beberapa mobil terparkir di halaman.

Warga transmigran lain ada yang memiliki lahan hingga 100-an hektare. Perluasan lahan dari 2 hektare ke puluhan bahkan ratusan merupakan imbas dari bagian lahan yang ditinggal warga transmigran awal yang pulang kembali ke Jawa. Ada pula yang menambah dengan membeli lahan semak atau membuka hutan.

Rachmat bercerita bahwa awal kedatangan mereka ke wilayah yang dahulunya hutan ini bukan perkara mudah. Sekalipun lahan sudah ditanami sawit oleh PT Sari Lembah Subur, anak usaha PT Astra Agro Lestari Tbk., tapi banyak transmigran yang tidak kuat. Sekitar 40% warga transmigran akhirnya pulang kembali ke kampung halaman. "Transmigran itu kan seperti dibuang."

Bagi mereka yang bertahan kini diganjar dengan kesejahteraan. Bahkan, ketika krisis moneter melanda Indonesia pada 1998/1999, petani sawit menikmati betul tingginya harga. Pendapatan Rp10 juta sebulan bisa didapat Rachmat yang hanya memiliki 2 hektare lahan sawit.

Warga transmigran ini sekarang dikenal sebagai tauke sawit. Mereka bukan lagi warga 'buangan' yang harus bergelut dengan kemiskinan. Banyak di antaranya telah mengenyam pendidikan tinggi, bahkan hingga S2 dan S3.

Ketua DPRD Pelelawan Nasarudin mengakui peran sawit plasma terhadap kemajuan wilayah dan pendidikan warga sekitar. "Saya hidup dari sawit. Sekolah ke Jogja juga karena sawit," katanya, Rabu (1/6/2016).

Tantangan mereka saat ini adalah upaya replanting atau peremajaan sawit yang sudah tua. Tanaman paling muda milik petani sawit adalah 26 tahun. Penanaman pertama oleh PT SLS di wilayah ini adalah tahun 1983.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search