Baru-baru ini, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengunjungi Merri yang kini mendekam di salah satu Lembaga Pemasyarakatan di Nusakambangan. Hasil kunjungan itu menyingkap banyak hal seputar kehidupan Merri dan proses hukum yang ia jalani.
Merri adalah perempuan mantan pekerja migran kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, 30 Januari 42 tahun silam. Ia sempat menikah dan dikaruniai dua orang anak.
Komisioner Advokasi Internasional, Adriana Venny mengungkapkan, Merri dipaksa sang suami bekerja ke Taiwan sebagai pekerja migran untuk melunasi hutang judi suaminya.
"Mantan suami Merri senang mabuk, judi, dan berselingkuh. Merri menjadi pekerja migran selama dua tahun, hingga saat dia berusia 25 tahun Merri bercerai dengan suami," kata Adriana kepada CNNIndonesia.com, Selasa (26/7).
Setelah cerai, Merri bertemu Jerry, warga negara Kanada yang mengaku berprofesi sebagai pedagang. Mereka sempat menjalin kasih selama tiga bulan.
Terjerat Sindikat Narkotika
Pada tanggal 16 Oktober 2001 Jerry mengajak Merri berlibur ke Nepal. Hari keempat liburan atau pada 20 Oktober Jerry memutuskan kembali ke Jakarta dengan alasan urusan bisnis.
Merri diminta Jerry untuk menunggu temannya di Nepal karena ada tas yang akan diberikan Jerry kepada Merri melalui dua temannya tersebut.
"Dengan alasan akan diberi tas tangan kulit, Merri diminta menunggu. Di Nepal ia menunggu selama seminggu hingga akhirnya bertemu dengan Muhammad dan Badru di sebuah klub malam," kata Adriana.
"Saat pemeriksaan kedua, dia lewat x-ray, karena Merri tidak tahu apa-apa dia berikan tasnya saat pemeriksaan, dan diketahui kalau tasnya ada narkoba jenis heroin sebanyak 1.1 kilogram," kata Adriana.
Petugas bandara kemudian membawa Merri untuk diperiksa. Awalnya, Merri berpikir peristiwa ini hanya salah paham. Ia pun mencoba menghubungi Jerry. Namun, semua nomor Jerry dan teman-temannya tidak aktif. Belakangan diketahui kalau Jerry memilki banyak nama samaran.
Ketua Komnas Perempuan Azriana berkata, kurangnya pengetahuan menjadi salah satu alasan sindikat perdagangan narkotik banyak membidik perempuan pekerja migran. Modus yang dilakukan biasanya mirip. Melalui pendekatan personal, relasi pacaran, lalu setelah itu dijadikan kurir tanpa perempuan tersebut menyadari.
"Lima perempuan yang mendapat vonis mati tiga diantaranya dijerat sindikat dengan modus sama, pacaran diberi tas, dan tasnya isi narkoba," kata Azriana.
Kekerasan dalam Proses Hukum
Komnas Perempuan juga menyoroti perlakuan tak manusiawi terhadap para pekerja perempuan selama menjalani proses hukum. Merri, misalnya, sempat beberapa kali mendapat tindak kekerasaan dari pihak berwajib.
"Dia (Merri) dipaksa menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP), dia juga mengalami penyiksaan sebanyak tiga kali, di bandara, di perjalanan menuju kantor kepolisian, dan saat pemeriksaan lanjutan," kata Azriana.
Merri bahkan sempat dibawa ke sebuah hotel dengan alasan interogasi ulang. Di hotel, dia tak hanya mengalami penyiksaan fisik. Merri juga dilecehkan secara seksual. Tubuhnya digerayangi dan hampir diperkosa.
Azriana mengatakan, penasihat hukum Merri hanya datang saat persidangan dan tidak pernah mendiskusikan soal pembelaan dirinya. Penasehat hukum hanya menyuruh Merri mengakui perbuatan yang tidak dia lakukan.
Merri juga tidak mendapat peradilan yang adil. Di persidangan, pengadilan mengabaikan kemungkinan mereka menjadi korban sindikat narkotik internasional dengan alasan banyak kurir yang mengaku sebagai korban.
Merri akhirnya dijatuhi hukuman mati pada 2002. Ia langsung melakukan upaya banding, tetapi hasil yang didapat justru menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Tidak puas, ia mengajukan kasasi, namun Mahkamah Agung menolak permohonan kasasinya.
Setelah semua yang dialami, kini Merri terkurung di ruang isolasi. Tak ada yang tahu kapan pemerintah melaksanakan eksekusi terhadapnya. Tetapi harapan belum sepenuhnya hilang. Meski kecil, Komnas Perempuan masih berharap agar presiden memberikan grasi kepada Merri. (wis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar