Noah ketika itu baru tiga tahun tinggal di Jawa. Bersama istri dan anak pertamanya, yakni Helena Frank dan Aleida Chana Arnon, mereka melarikan diri dari Belanda yang diinvasi Nazi. Pada 1940 mereka kabur dari Haarlem melalui jalur laut menuju London, Inggris. Saat itu Jerman secara de facto telah menduduki Belanda.
Noah mendekam di kamp interniran Jepang selama setahun. Dalam kurun waktu itu, ia tidak dapat berkomunikasi dengan istri dan anaknya. Helena dan Chana ketika itu juga turut ditangkap Jepang dan dipindahkan ke sejumlah kamp interniran yang berada di Tjihapit, Bandung, Tangerang dan Batavia.
Dalam memoarnya yang berjudul My Story and Other Writings, Helena menulis, pada Agustus 1945, Jepang yang kalah perang membebaskan para warga Eropa dari kamp interniran. Chana yang kala itu berusia enam tahun sempat tidak mengenali Noah yang selama dua tahun tak ditemuinya.
"Chana tidak mengenali ayahnya," tulis Helena.
Satu bulan setelah lepas dari kamp interniran Jepang, Noah dan Helena yang tinggal di Bandung mendengar kabar duka tentang pemusnahan massal etnis Yahudi di Belanda. Berita itu disiarkan British Broadcast Coorporation melalui radio. Di tengah kedukaan itu mereka merasa beruntung: dapat tetap hidup meskipun sempat merasakan kekejian Jepang.
Catatan perjalanan hidup keluarga Benninga itu kini dicatat oleh Museum Peringatan Tragedi Holocaust Amerika Serikat.
![]() |
Pada periode yang sama dengan penangkapan keluarga Benninga, Chagoll tiba di Hindia Belanda bersama ibunya dari Brussels. Datang pada waktu yang tidak tepat, pegawai pemerintah kolonial Jepang mengkategorikan mereka sebagai Yahudi.
Chagoll lantas dibawa paksa ke kamp interniran di kawasan Cideng, Batavia. Ia mengaku juga sempat merasakan kejamnya kamp interniran di Tangerang.
Di Tangerang, Jepang memisahkan tahanan beragama Kristen dan Yudaisme. Para keturunan Yahudi itu, kata Chagoll, disatukan dalam beberapa ruang besar. Di tahanan itu terdapat pula keturunan Yahudi dengan latar belakang Baghdadi atau mereka yang datang dari tradisi Timur Tengah, terutama Irak.
Jepang, kata Chagoll, sempat bingung dengan status para keturunan Yahudi berwajah arab tersebut. Untuk menyiksa batin tahanan Yahudi asal Eropa, Jepang lantas menyediakan dapur kosher kepada Yahudi keturunan arab itu.
Chagoll juga menulis kesaksiannya selama berada di kamp interniran Adek. Di kamp itu terdapat 50 tahanan perempuan yang berasal dari sembilan negara, seperti Belanda, Belgia, Austria, Irak dan China.
"Ibu rumah rangga, advokat, perawat, pegawai pemerintah, pekerja seks komersial, semua mendapatkan ruang gerak seluas 50 sentimeter. Kamp itu adalah sebuah pondok kecil berukuran lima hingga sembilan sentimeter persegi," tulisnya.
Selepas penindasan itu, Chagoll pulang ke Belgia. Tahun 1977 ia membuat film dokumenter berjudul In the Name of the Fuhrer yang mendapatkan penghargaan dari Asosiasi Pengkritik Film Belgia.
Tahun lalu, ketika berusia 84 tahun, Chagoll memandu sekelompok turis di kamp Auschwitz, Jerman.
Seperti diberitakan Times of Israel, kepada para wisatawan Yahudi itu, ia berkata, "Saya mendukung Palestina. Saya sangat anti-semit karena itu adalah skandal yang tidak dapat ditolerir. Paham itu tidak akan terwujud."
Buku Illustrated Atlas of Japanese Camps In the Netherlands East Indies 1942-1945 mencatat, pemenjaraan semena-mena Jepang di Hindia Belanda menyebabkan 13 ribu kematian atau 13 persen dari total penghuni kamp interniran.
Peristiwa kelam di periode awal 1940-an itu hingga kini membekas di banyak keturunan Yahudi di Indonesia. Hal itu setidaknya diutarakan seorang keturunan Yahudi berinisial DJ yang tinggal Manado kepada kepada CNNIndonesia.com.
DJ berkata, beberapa keturunan Yahudi di lingkungan pergaulannya mengetahui asal usul mereka. Tapi mereka memilih tidak mempublikasikan identitas itu ataupun menjalankan Yudaisme. "Iya saya tahu, tapi ya sudah, cukup di situ saja," ujar DJ mengulang perkataan kawannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar