*10 Tahun Belum Ketemu Keluarga, Tak Punya Teman Curhat
SENDIRIAN – Sukirah menjadi satusatunya penghuni panti Jompo "Khusnul Khotimah" Kudus.Sukirah bertahan sendiri di panti jompo "Khusnul Khotimah" Kudus. Teman sesama panti jompo yang awalnya 15 orang, sudah meninggal dunia. Dia hanya ditemani penjaga panti yang usianya tak muda lagi. NOOR SYAFAATUL UDHMA, Kudus
NOOR SYAFAATUL UDHMA/RADAR KUDUS
NENEK satu ini usianya menginjak sekitar 85 tahun. Tubuhnya kecil dan penuh keriput. Pendengarannya tidak sebaik dulu. Ketika diajak bicara, lawan bicara harus menggunakan suara yang keras dan lantang. Sehingga bisa mendapatkan jawaban.
Dia juga tidak mampu berjalan dengan baik. Hal tersebut terbukti ketika dia buang air. Dia harus ngesot menuju kamar mandi. Tidak mudah, tetapi dia melakukan setiap hari. Alasannya untuk menjaga kebersihan dan tidak merepotkan orang lain.
Nenek yang lahir di Blora ini sudah tak memiliki gigi. Dia hanya memiliki gusi. Ketika makan harus dengan makanan yang lembut agar lebih mudah tertelan.
Soal makan, nenek satu ini tidak banyak memilih. Hanya saja dia tidak mau memakan ikan lele. Alasannya ikan lele memakan kotoran. Dia jijik. Makanan favoritnya sayur bening dengan pindang pepes. Makanan tersebut dapat membangkitkan nafsu makanan yang menurun.
Dia adalah Sukirah, warga Desa Mlati Lor, Kecamatan Kota, Kudus. Di usia senja, dia mendekam di panti jompo tanpa keluarga. Bahkan selama puluhan tahun tidak ada yang mencari atau menjenguk.
Tak heran ketika Jawa Pos Radar Kudus bertandang ke panti jompo "Khusnul Khotimah" yang berada di belakang panti asuhan Darul Hadlonah, Jalan Pramuka, dia sumringah. Bahkan Sukirah mengucapkan terima kasih.
Namun, saat ditanya soal anak, raut wajahnya berubah. Wajahnya memerah lantas menangis sambil memukul pahanya. Dia hanya menggelengkan kepala, pertanda tidak tahu keberadaan anaknya.
Berbeda saat ditanyakan suaminya, wajahnya berubah. Dia sedikit kesal. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama, karena bisa menguasai diri.
Menurut Latmi, 56, penjaga panti jompo, Sukirah mencari suaminya. Untuk itu, dia hijrah dari Blora ke Kudus bersama anaknya. Dia membeli rumah dan tinggal berdua dengan anaknya. Selama beberapa tahun tinggal di Kudus, keberadaannya diketahui mertuanya.
Akhirnya anak semata wayangnya diambil mertua dan dibesarkan di Blora. "Saya tahu cerita ini dari Mbah Sukirah semasa awal tinggal di sini," ungkapnya.
Meski pendengarannya bermasalah, dia selalu salat tepat waktu. Dia hanya menggunakan feeling dalam menentukan waktu salat. Anehnya, selalu tepat. Bahkan sebelum salat subuh, dia selalu mandi pagi untuk menyegarkan tubuh. Kegiatan tersebut rutin dilakukan, dia masih menyempatkan salat sunah.
Kegiatan Sukirah banyak di atas tempat tidur. Dia lebih banyak tidur dan berdzikir. Dia hanya beranjak dari tempat tidur ketika memasuki waktu salat dan buang air.
Kegiatannya berubah ketika dia tidak memiliki teman sesama manula. Padahal dulu penghuni panti jumpo ada banyak, sekitar 15 orang. Lama kelamaan berkurang satu persatu karena meninggal dunia. Hingga saat ini tinggal Sukirah seorang diri.
Sudah tidak memiliki teman, dia juga tidak pernah ada yang menjenguk. Bahkan dana bantuan dari donatur mulai berkurang. Padahal hidupnya bergantung dari belas kasihan orang. "Kalau dulu banyak yang jenguk, sekarang sudah jarang jenguk. Apalagi kasih sumbangan," terang Latmi.
Latmi berharap, banyak donatur yang prihatin dengan keadaan panti dan Sukirah. Sehingga dapat memberikan sumbangan materi untuk kebutuhan sehari-hari di panti. "Saya merasa kasihan Mbah Sukirah tidak ada yang jenguk. Kalau saya bekerja, terkadang dia kesepian," imbuhnya. (*/ris)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar