Selasa, 30 Agustus 2016

Sepenggal Kisah Pengabdian Prajurit Penjaga Perbatasan Negara

KabarIndonesia - Prajurit TNI Angkatan Darat tetap setia sepanjang masa, menjaga dan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setidaknya itu tampak jelas pada prajurit yang tengah bertugas di sejumlah daerah perbatasan dengan negara tetangga seperti di perbatasan Kalimantan-Malaysia dan Nusa Tenggara Timur-Timor Leste.

Kisah ini bukan cerita sinetron yang ada di layar televisi, tetapi adalah kisah nyata terjadi dan dialami  seorang prajurit TNI yang mestinya sedang bersenang-senang dengan istri yang baru seminggu dinikahinya. Tapi karena panggilan ibu pertiwi, tugas wajib menjaga perbatasan negara di Perbatasan Kalimantan-Malaysia, sehingga berpisah berbulan-bulan dari keluarga. 

Hal ini dialami Sersan Kepala M Asdar, personel TNI dari  Batalyon 713/Satyatama, Gorontalo yang bertugas menjaga daerah perbatasan RI-Malaysia di Pos Long Bulan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Lulusan akademi perawat di Manado, Sulawesi Utara ini, menikah seminggu sebelum pra tugas selanjutnya berangkat menumpang kapal laut dari Sulawesi Utara menuju ke Tarakan, Kalimantan Utara, akhir Maret 2016 dan akan melaksanakan tugas menjaga patok batas negara yang diperkirakan selama 9 bulan. 
Sersan Kepala M Asdar bersama rekan sepasukannya pun mempunyai tanggungjawab yang tinggi dalam menjaga patok batas negara. Para pengabdi bangsa ini mengawali kegiatannya ketika mentari pagi mulai menyinari markas mereka. Sebagian asyik memasak di dapur untuk kebutuhan sarapan rekan-rekan mereka. Yang lainnya juga bertugas mengambil air sambil mencuci pakaian. 
Makan bersama menjadi satu di antara kegiatan rutin yang membuat para prajurit kian akrab dan kompak satu sama lain sambil bercerita. Kegiatan bersama ini kemudian dilanjutkan dengan mengikuti apel sebagai persiapan tugas rutin, yakni berpatroli di perbatasan. 
Dengan langkah tegap, mereka menapak medan perbatasan. Mendaki bukit demi bukit, lembah demi lembah mereka turuni untuk memenuhi panggilan tugas. Biasanya, seorang prajurit ditempatkan di sebuah titik penjagaan. Dalam jarak beberapa ratus meter juga terdapat rekan lainnya. Ini dilakukan secara bergantian, penjagaan itu bagaikan pagar hidup yang mengawal setiap jengkal tanah daerah perbatasan. Setelah menempuh jarak beberapa kilometer, mereka kembali berkumpul pada satu titik. Kesempatan ini digunakan mereka untuk sekadar melepas lelah atau mengusir dahaga dengan bekal yang dibawa. Setelah istirahat beberapa saat mereka kembali ke pos komando. 
Hari pun beranjak mulai sore, para prajurit mengisi waktu luang dengan berolah raga. Kegiatan seperti ini juga menjadi hal yang penting untuk menjaga kebugaran fisik dalam menghadapi hari-hari yang panjang di wilayah perbatasan. Matahari pun mulai terbenam mendekati malam. Kumandang azan magrib mengiringi kepergian sang surya. Alunan ayat-ayat suci Alquran ini mengajak mereka yang beragama Islam untuk menunaikan salat dan dilanjutkan dengan pengajian. Makan malam tiba. Di bawah naungan cahaya petromaks dan beberapa lampu minyak, para prajurit kembali bersama menyantap hidangan yang disediakan sambil bercengkerama. 
Dengan perut yang sudah terisi, biasanya para prajurit menyempatkan diri untuk melepas kepenatan. Sambil bernyanyi, bermain kartu atau catur, mereka mengusir kejenuhan dan mengobati kerinduan kepada keluarga. "Kangen akan keluarga selalu muncul. Namun, karena didasari tugas dan saling percaya rasa itu dapat terobati," ujar Asdar. 
Dengan merebahkan badan di atas perlengkapan tidur seadanya, mereka berharap memimpikan anggota keluarga yang berada nun jauh di sana. Rasa kangen dan rindu akan terobati jika mendengar suara keluarga. 
Hal yang sama ditempat yang berbeda para istri prajurit TNI Angkatan Darat ini pun melakukan tugas rutin layaknya ibu-ibu yang tinggal di asrama. Seperti juga dengan suami yang tengah bertugas, para istri menggelar berbagai kegiatan. Biasanya para istri mengikuti senam pagi atau kegiatan olah raga lainnya, seperti tenis dan bola voli. Kegiatan rutin lainnya adalah meningkatkan keterampilan melalui wadah semacam sanggar. Membuat aneka kerajinan tangan yang hasilnya dijual atau digunakan untuk keperluan keluarga.

Selain itu, mereka juga menggelar pengajian bersama. Sambil mendekatkan diri kepada Tuhan, mereka berbagi pengalaman rohani. Jika rindu tak terbendung saat malam tiba, beberapa Ibu-Ibu Persit yang rumahnya dilengkapi telepon dapat berkomunikasi dengan sang suami yang kebetulan berada di kota. Sebagian lainnya hanya menghibur diri dengan menonton televisi atau berkumpul dengan keluarga. Kendati begitu, mereka tetap bangga akan tugas yang diemban sang suami. (*)


Sumber Foto
: queenofsheeba.wordpress.com

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik):
redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini. Kunjungi segera:
http://www.kabarindonesia.com//
 

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search