Rabu, 28 Desember 2016

Sebuah Kisah dari Bawah

Sebuah Kisah dari Bawah

Sepagi ini seorang ibu telah berkeringat menyiapkan dagangannya. Beberapa tetes keringat terjatuh dari wajahnya di pagi yang sejuk ini. Aku menarik napas sebentar, melihat ke kiri dan ke kanan. Ada beberapa tukang becak yang datang dan mulai memarkirkan becak-becak mereka. Kerasnya kehidupan membuat senyuman ramah terhapus sejak lama di tempat ini. Untuk bertahan hidup di lingkungan ini memanglah sulit. Apalagi saat berhadapan dengan saingan kita. Namun ibu itu tersenyum dalam kerjanya.

Aku sudah memperhatikan ibu itu sejak lama. Bu Eni namanya. Ia seorang penjaga warung di tempat tinggalku, stasiun kota Bekasi. Ia sudah bekerja disini selama setahun. Di tempat penuh asap dan suasana ribut inilah setiap hari ia menjalani kehidupannya. Suami dan kedua anaknya membuatnya tetap kuat menjalani hidup sehari-harinya. Ia sangat menyayangi keluarganya. Ia sering berbicara padaku, mengatakan betapa hidup ini sulit dijalani. Seakan peduli padaku, ia berkata bahwa aku tak boleh menyerah sekeras apapun cobaan yang datang. Katanya, Yaa, jangan menyerah.. Kata-katanya sangat sederhana dan singkat. Ia mengatakannya hampir setiap hari kepada dirinya sendiri dan kepadaku saat sendiri. Sambil merapikan rambut ikalnya, ia menggantungkan banyak bubuk minuman. Di sebelahnya, mbak-mbak penjual donat telah datang dan mempersiapkan dagangannya juga. Bu Enii.. Sapa mereka. Dengan sibuk namun tetap tersenyum ia membalas sapaan mereka.

Seperti kebiasaanya setiap pagi, Bu Eni bersiul kecil sambil memasukkan botol-botol minuman ke dalam kulkas. Aku sedang bersembunyi dibalik ban sebuah motor besar, menghadap ke arah warung bu Eni. Beberapa pengunjung datang dan berlalu. Beberapa anak sekolah membeli minuman. Mereka berbicara tentang pacar dan masa depan. Bu Eni tersenyum melihatnya, mengingat anaknya yang sekarang duduk di bangku kelas 2 SMA. Tentu ia sudah punya lelaki idaman, pikirnya.

Matahari mulai tinggi. Ia tersenyum melihat sekelilingnya, seakan senyumannya berkata padaku betapa senangnya ia bekerja di sini. Ia menyukai keramaian dan suasana tempat ini. Meski aku di sini sudah lama, namun baru kali ini aku melihat seorang manusia yang berdiri tegar menopang kebutuhan dirinya sendiri dan kedua anaknya tanpa sungut-sungut ataupun rasa kesal. Tiba-tiba suara kereta berdengung di telingaku. Aku sudah terbiasa mendengarnya. Namun suara lain datang menyusul. Suara ini tidak biasa kudengar. Kulihat sumber suara itu berasal dari luar stasiun. Seorang laki-laki paruh baya, tetangga Bu Eni, meneriakkan nama yang kukenal baik, Bu Eniiii? Bu Eniiii? Teriaknya mencari.

Laki-laki itu berlari gelagapan menggapai bu Eni. Dalam sekejap orang berkumpul di depan warungnya. Aku keluar dari ban-ku dan mendekati kerumunan itu. Suara klakson kereta menutupi semua pembicaraan. Aku tak mendengar apapun. Aku melihat air mata, dan Bu Eni menjauh dari warung. Aku berteriak-teriak, Ada apa? Ada apa? Namun tentu saja tak ada yang mendengarku. Aku mengejar kerumunan yang keluar dari stasiun itu, namun aku tertinggal di belakang.

Aku menunggu di depan warung Bu Eni. Matahari tenggelam. Ia tidak kembali hingga gelap. Beberapa orang anak menutup warung Bu Eni. Aku menunggu. Keesokan harinya. Tiga hari setelahnya. Berhari-hari setelah kejadian itupun, Bu Eni tak kunjung datang. Beberapa pembicaraan terdengar olehku. Gosip antar tukang becak dan ojeg memperjelas semuanya. Suami Bu Eni telah meninggal.

Kadang aku tidak mengerti mengapa hal itu terjadi. Mungkin beberapa hal memang terjadi tanpa alasan. Benarkah itu? Aku tak dapat membayangkan perasaan Bu Eni sekarang. Dapatkah ia melewatinya? Beribu pertanyaan muncul dibenakku. Aku butuh jawaban, pikirku dalam hati. Kuputuskan untuk menunggu Bu Eni di warungnya. Sebuah kardus tanpa sengaja diletakkan di depan warung Bu Eni. Aku memakainya sebagai alas tidurku. Sebulan setelah kejadian itu, barulah kulihat Bu Eni kembali di stasiun.

Meong... Meong... Sapaku mendekatinya. Ia memaksa dirinya untuk tersenyum padaku, namun kesedihan tidak bisa disembunyikannya. Ia membereskan warungnya dengan lesu. Hanya itu.

Aku hanya seekor kucing kampung. Aku memang melihat tanpa warna, hanya hitam putih. Namun aku bisa melihat pilu. Aku bisa melihat pergulatan dalam dirinya, dan air mata yang ditahannya. Sesuatu telah hilang. Senyumannya tak seperti dulu. Semangatnya tak seperti dulu. Rasanya harapan telah hilang, dan khayalan telah lenyap. Aku mungkin tidak memiliki sembilan nyawa, namun kisah ini rasanya memperbaharui hidupku. Dan aku percaya, waktu bisa menyembuhkan Bu Eni.

Bu Eni mengajarkanku banyak hal. Ia selalu rendah hati. Tidak menanyakan maksud Yang Maha Esa. Tabah dan sabar, meski terkadang sulit. Bekerja keras dan pantang menyerah. Tetap tegar dan tersenyum. Ia seorang wanita yang kuat. Ia bukan hanya seorang penjaga warung di pinggir stasiun, karena bagi seekor kucing jalanan sepertiku, ia adalah seorang pahlawan.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search