
Ayah Donald Trump, Fred Trump putus asa dengan sifat agresif putranya. Trump kemudian dimasukkan ke Akademi Militer, malah dia juara meraih medali dan penghargaan. Bahkan jadi sosok yang berpengaruh.
Agresifitas Trump sudah terlihat sejak memasuki usia remaja. Saat berusia 12 tahun, Trump dan Peter Brant, sahabat karibnya, melakukan petualangan dengan naik kereta menuju Manhattan pada akhir pekan tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Manhattan terlalu jauh dan terlalu berbahaya untuk dua anak laki-laki dari daerah yang tenang dan aman di New York.
Turun dari kereta di 53 Street dan Fifth Avenue, Trump dan Peter merasa seperti versi urban dari Lewis dan Clark. Mereka menjelajahi jalanan Central Park, menyaksikan orang Amerika-Afrika bermain basket di lapangan sepanjang East River dan mengamati para pengemis dan preman di tengah kota.
Sekitar Times Square, mereka menemukan toko-toko baru. Di toko ini Trump dan sahabatnya membeli bom bau, buzzers tangan dan sejenis benda berbentuk muntahan. Ini aksesoris sempurna untuk mengerjai teman-teman mereka nantinya. Keduanya juga singgah ke toko penjual pisau lipat untuk membelinya sambil membayangkan diri mereka sebagai anggota geng.
Suatu hari ayah Trump menemukan pisau itu. Ia pun marah besar setelah tahu mengenai perjalanan rahasia putranya ke Manhattan. Dia menilai perilaku anaknya telah berubah menjadi agresif dan radikal. Beberapa bulan sebelum lulus sekolah dasar, Fred Trump, pebisnis sukses dan kaya raya, mendaftarkan Trump ke Akademi Militer New York, sebuah sekolah asrama yang berjarak 70 mil dari Jamaika Estates.
Trump awalnya terkejut dan sedih harus berpisah dengan teman-teman terutama sahabatnya Peter. Namun ia tak berdaya dengan keputusan sang ayah.
Di akademi militer ia digambarkan sebagai seorang remaja berotot dan tangguh meski baru berusia 13 tahun. Rambutnya dicukur menjadi cepak, mengenakan seragam wol tebal dan dibangunkan setiap hari oleh alram sekitar pukul 5 pagi.
Tak dilayani juru masak keluarganya, Trump harus duduk di aula yang ramai dan piring yang dipenuhi daging cincang, spaghetti dan sesuatu yang disebut " gunung misterius," yakni rebusan sisa daging goreng yang diolah menyerupai bakso.
Alih-alih kamar mandi sendiri, ia harus mandi dengan sesama kadet.
Kenakalan seperti berkelahi adalah salah satu kegemarannya. Pernah sekali ia mencoba untuk mendorong sesama kadet dari jendela di lantai dua. Dua teman sekolahnya berusaha menggagalkan niatnya.
Michael D'Antonio, penulis biografi Trump, mengungkapkan bahwa akademi militer adalah sikap penolakan oleh orangtua yang saat itu putus asa mengaturnya.
"Dia pada dasarnya dibuang dari rumah keluarga. Dia saat itu belum tahu apa-apa, tapi hidup dengan keluarganya dalam kondisi mewah, dan tiba-tiba dia diusir. Itu cara yang kasar untuk memulai hidup," kata D'Antonio.
Di akademi tersebut, Donald diawasi dengan ketat oleh Theodore Dobias, seorang veteran yang pernah bertugas di Perang Dunia II dan menyaksikan Mussolini tewas digantung.
Dobias, yang telah meninggal dunia baru-baru ini, sering memukul para taruna dengan tangan kosong jika mereka berbuat salah. Dia bahkan mendirikan sebuah ring tinju dan memaksa siswa dengan nilai yang buruk dan masalah disiplin untuk melawan satu sama lain.
"Pada awalnya, ia tidak suka diperintah, seperti merapikan tempat tidur, menyemir sepatu, gosok gigi, membersihkan wastafel dan melakukan pekerjaan rumah lainnya," kata Dobias dalam sebuah wawancara musim gugur lalu tentang Trump. "Kami benar-benar tidak peduli apakah ia berasal dari Rockefeller Center atau apa pun."
"Dia ingin menjadi nomor satu. Dia ingin diperhatikan. Dia ingin diakui. Da menyukai pujian," tambah Dobias.
Trump memenangkan medali untuk kerapian berpakaian dan menjadi juara nomor satu dalam nilai-nilai pelajaran. Ia juga berbakat dan berpengaruh di dalam tim bisbol dan sepak bola.
Akademi militer terbukti mengajarkan Trump muda pelajaran yang sangat berharga sebagai modalnya di saat dewasa, tempat ia melewati dua kali perceraian, melewati kebangkrutan dan publisitas buruk tentangnya, serta dengan mudah memenangkan segalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar