TRIBUN-TIMUR.COM - Suku Tionghoa Hokkian mengenal istilah Pai Tian Kong atau Sembayang Kepada Tuhan dilangit, untuk merayakan hari kedelapan Imlek.
Sembahyang hari kedelapan Imlek disebut juga sembahyang meja tinggi. Sebagai simbol langit yang tinggi.
BErdasarkan penelusuran tribun-timur dari kisah-kisah kuno warga Tinghoa, kebiasaan ini berawal dari kisah puluhan ribu tahun yang lampau, setelah istilah musim semi sudah disebut hari raya Imlek oleh warga Tionghoa penganut Tao, Khong Hu Cu dan Buddha.
Saat itu daerah Hokkian belum menjadi satu provinsi di Tiongkok. Dimana kondisinya masih berupa pedesaan yang sarat pertanian. Suatu ketika disaat masyarakatnya masih merajakan suasana Imlek, daerah Hokkian diserang perompak yang membabi buta.
Para perompak membunuh, merantai dan menjarah harta benda dan hasil panen warga Hokkian. Karena panik sebahagian warganya memilih lari bersembunyi kedalam hutan yang tidak jauh dari lokasi kejadian. Mereka yang bersembunyi berlindung dibalik rimbunnya pohon bambau dan kebun tebu. Hingga selamat.
Setelah kondisi situasi telah aman, mereka yang menyelematkan diri keluar dari tempat persembunyian. Di hari kedelapan Imlek mereka menggelar ritual sujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sejak itulah tebu dan bambu identik dengan perayaan Imlek.
Setiap memasuki Imlek, selalu ada tebu dibalik pintu warga Tionghoa penganut Tao, Khong Hu Cu dan Buddha sebagai simbol perlindungan.
Tetapi tidak semua suku Tionghoa menggelarnya. Seperti suku Tionghoa Kwantong, karena peristiwanya bukan di kampung suku Kwantong. Sementara suku Hokkian sendiri juga tidak tiap tahun menggelarnya dirumah mereka. Hanya berdasarkan hajatannya. Kalau mereka sekali berhajat. Harus tiga tahun berturut-turut menggelarnya. Hanya klenteng yang berbasis suku Hokkian yang tiap tahun menggelarnya.
Klenteng di Makassar yang menggelar sembahyang meja tinggi pada Sabtu malam, 4 Februari 2017. Seperti Klenteng Xian Ma, Klenteng Ibu Agung Bahari, Klenteng Cho Su Kong, Vihara Istana Avalokitesuvra, Cetiya Kwan Tek Cun Wan dan Cetiya Avalokitesvara. Sedang Klenteng Kwan Kong, tidak menggelarnya. Tetapi hanya ritual biasa saja. (Moeh David Aritanto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar