JAKARTA, KOMPAS.com – Senyum terpulas di wajah Ratnasari (22) saat Kompas.com menemuinya di bangunan dengan tulisan Yayasan Media Amal Islami (MAI) di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Di bangunan tiga lantai itu, Ratna hidup dan mengabdi. Menjadi pengajar muda untuk anak-anak yatim dan duafa dari keluarga pemulung.
Lapak-lapak pemulung berada dekat dengan yayasan itu. Dari lantai tiga, Ratna bisa melihat jelas kehidupan mereka. "Dari situ juga saya berasal," ujarnya.
Ratna mengajar di MAI sejak usia 14. Sepanjang perjalanan hidupnya, sudah banyak pengalaman yang ia dapatkan.
"Dari mengajar, ada pelajaran hidup yang bisa dipetik. Apalagi, anak didik saya bukanlah orang-orang biasa," ujarnya.
Anak didik Ratna kebanyakan berasal dari keluarga pemulung. Gampang-susah mengajar mereka sudah menjadi bagian dari hidup Ratna.
Anak-anak pemulung, kata Ratna, sudah mengenal cara mencari uang sehingga sulit diajak belajar.
Sebab, mereka tidak lagi bersekolah untuk bisa bekerja kelak karena sudah bisa menghasilkan uang sendiri.
Ratna sempat kelimpungan. Berbagai usaha ia dan yayasan lakukan, termasuk mencarikan orang tua asuh bagi anak-anak pemulung yang bersekolah di situ.
"Jadi tiap bulannya mereka dapat santunan uang," ujar Ratna.
Belum lagi, soal karakter. Karena terbiasa hidup di jalan, anak didiknya sering berbicara kasar. Ratna bercerita saat pertama kali mengajar dan bertemu mereka. Ia harus punya kesabaran ekstra.
"Selain berbicara kasar, pakaian yang dikenakan semaunya saja. Kadang memang tidak ada. Peci miring, ingusan, dan bau sampah karena habis mulung. Pelan-pelan kami didik," ujar dia.
Untuk adaptasi, anak didiknya itu butuh waktu enam bulan untuk mau disiplin datang dengan pakaian rapi.
Kegiatan belajar-mengajar semakin sulit ketika banyak orangtua dari anak didiknya yang protes.
Mereka berpendapat, sekolah hanya membuat waktu anak-anaknya mencari uang terganggu.
"Padahal kalau dipikir, belajar dari yayasan ini saja kurang. Harapan saya, mereka masih punya kegiatan belajar di luar dari aktivitas (belajar) di sini. Boro-boro tercapai, orangtuanya malah protes," kisahnya.
Pernah, Ratna nekat datang ke lapak-lapak pemulung. Menemui orangtua anak didiknya satu per satu. Ia mencoba menularkan motivasi agar mereka bisa mendukung anaknya belajar.
"Saya lihat tidak ada dorongan belajar dari dalam keluarga, padahal anak-anak masih butuh itu," katanya.
(Baca juga: Ini Cerita Aslih Ridwan, Ustaz yang Punya Ratusan Anak Asuh...)
Ratna bisa masuk lebih mudah ke komunitas pemulung karena mereka tahu, Ratna berasal dari keluarga yang sama. Hanya saja, bukan berarti tidak ada penolakan.
"Alasannya bukan cuma satu, melainkan seribu. Mereka menyatakan tidak bisa mendukung kegiatan anak belajar karena mereka butuh uang. Kalaupun ingin, mereka juga tidak bisa mengajarkan di rumah," tuturnya.
Sering kali Ratna mendapatkan kalimat "Ibunya saja tidak sekolah, bagaimana bisa mengajarkan anaknya. Sudahlah Rat, mereka cari uang saja," tiru Ratna.
Pelan-pelan, Ratna memotivasi mereka. ia menjadikan dirinya sendiri model contoh. Harapannya, keluarga pemulung itu bisa terinspirasi.
"Jangan sampai kelas 5 SD bukannya di sekolahkan malah disuruh nikah dan berumah tangga. Mereka masih punya cita-cita. Saya mau menularkan semangat belajar pada mereka," kata Ratna.
Kilas balik
Ratna adalah anak ketiga dari Pasangan Alm. Sukar dan Titin. Semasa hidup, ayahnya adalah seorang pemulung dan ibunya adalah tukang urut. Keluarga Ratna hidup serba kekurangan.
Sebelum tinggal di Jakarta, mereka menetap di Karawang, tempat ayahnya memulai pekerjaan sebagai pengumpul barang bekas dan sampah plastik kemasan.
Waktu masih di Karawang, rumah tempat keluarganya tinggal adalah satu-satunya yang belum dipasangi listrik. "Bukan karena berada di pedalaman, tetapi memang tidak ada biaya," ujarnya.
Dari situ Ratna, beserta kakak dan adiknya hidup prihatin. Masa-masa sekolah dasar (SD) dihadapinya dengan penuh keterbatasan.
Hingga sampailah saat ayahnya memutuskan untuk tinggal di lapak pemulung Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Hidup tak banyak berubah, kata Ratna. Namun, pendapatan yang dihasilkan ayahnya bisa dipakai untuk menyekolahkan kakak dan adiknya, kecuali dia. Setelah pindah ke Jakarta, Ratna diasuh dan tinggal bersama orang lain.
"Orangtua tidak mau saya tinggal di lapak pemulung, khawatir dengan pergaulannya," ujarnya.
Jadilah Ratna memiliki orangtua angkat dan tinggal d Pondok Labu, Jakarta Selatan. Ia disekolahkan dengan model homeschooling dan mendapat penghidupan layak.
Berkenalan dengan MAI
Memiliki orangtua angkat, tak membuat Ratna lupa akan keluarganya. Hampir tiap minggu, ia mendatangi lapak pemulung di mana keluarganya tinggal. Kebetulan, ia memilih tempat mengaji dekat dengan lokasi itu, yayasan MAI.
"Di sana saya mengaji dan ikut mengajar anak-anak yang tidak mampu bersekolah di tempat formal," ujarnya.
Begitu lah masa remajanya yang dihabiskan dengan belajar dan mengajar. Hingga ia mendapat kabar bahwa ayahnya sakit parah.
Ratna yang baru saja menyelesaikan SMA itu minta izin pada orangtua angkat untuk tinggal kembali bersama orangtua kandungnya. Ia ingin merawat sang ayah.
Selama ayahnya sakit, keluarga Ratna tak lagi tinggal di lapak pemulung. Mereka menyewa kontrakan kecil dekat sana.
Baru punya niat kerja, anak dari orangtua angkat Ratna datang menawarkan diri untuk membiayai dia kuliah.
"Galau, harus cari uang atau kuliah dulu. Keluarga menyarankan kuliah, tetapi lihat ayah sakit, saya mau kerja," ujarnya.
Jadilah Ratna mencoba mencari penghasilan. Ia bekerja menjadi admin perkantoran. Namun, pekerjaan yang monoton membuatnya cepat bosan.
Baru dua bulan, Ratna berubah haluan. Ia ingin kuliah. Pikirnya, dengan pendidikan yang lebih tinggi, penghasilannya bisa lebih tinggi lagi nanti.
Kemudian, ia ambil tawaran kuliah. Ratna mengambil gelar diploma di sebuah kampus swasta di Jakarta.
Hingga wisuda tiba, ayahnya kembali jatuh sakit. Tak lama setelah itu, ayahnya dipanggil Yang Maha Kuasa.
Saat itu, tekadnya bekerja makin kuat mengingat adik bungsunya masih sekolah dan membutuhkan banyak biaya.
Sayangnya, pengabdian menjadi pengajar muda MAI harus ditinggalkan kalau ia benar memilih bekerja di tempat lain.
"Kakak pertama bekerja dan menetap di Kalimantan, yang kedua mulung juga. Saya pikir, cuma (saya) harapan keluarga," tambah Ratna.
Karena itu, Ratna mengajak kepala pimpinan MAI berbicara. Ia memohon izin untuk mencari pekerjaan.
"Abu (sebutan Aslih Ridwan—kepala MAI) bilang, saya jadi pegawai di yayasan saja dan tinggal di sana untuk tetap mengajar," katanya.
Beberapa pertimbangan ia pikirkan. Dalam lubuk hatinya, ia memilih menjadi pengajar. Apalagi, datang tawaran untuk melanjutkan kuliah sarjana. Yayasan ingin membiayai penuh.
Tawaran itu kemudian ia ambil. Sebelum mengambil kelas kuliah, yayasan bahkan membiayainya kursus Bahasa Inggris di Kediri selama enam bulan untuk mengasah kemampuan Ratna.
"Jadi sekarang di sini (yayasan), saya mengajar umum, baca Al Quran, dan Bahasa Inggris. Untuk tambahan, saya juga buat kelas les. Semuanya dilakukan pada hari biasa. Akhir pekan saya pakai untuk kuliah," tuturnya.
Mengabdi, begitu Ratna menyebut apa yang tengah ia lakukan sekarang. Sambil terus berproses menggapai cita-cita, ia ingin bermanfaat bagi banyak orang.
Dari hasil jerih payahnya, saat ini Ratna sudah bisa membiayai adiknya sekolah, mencari nafkah untuk keluarga, membeli rumah, dan motor.
"Saya tanamkan kuat kuat. Sejak kecil, saya hidup dari orang lain. Kini saya juga mau menghidupkan orang lain. Dengan begitu saya bisa menjadi manfaat bagi banyak orang," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar