Zully Hijah Yanti AD bersama siswa SD yang belajar di SMPN 4 Satu Atap Kecamatan Salatiga, Kalimantan Barat. (FOR RAKYAT ACEH/JawaPos.com)
JawaPos.com - Profesi guru memang menjadi garda terdepan untuk pendidikan anak bangsa. Terutama bagi mereka yang bertugas di daerah pedalaman dan terluar negeri ini. Sehingga kehadirannya sangat berarti bagi peserta didik.
Selain itu, tidak banyak guru yang mau mengabdi di daerah pedalaman. Bila pun ada, itupun mereka yang masih muda dan terpaksa harus dikirim dari daerah lain. Seperti halnya Zully Hijah Yanti AD, guru yang bertugas di SMP Negeri (SMPN) 4 Satu Atap di Desa Sungai Tomab, Kecamatan Salatiga, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Wanita cantik ini berasal dari Aceh. Kehadirannya sebagai guru di pedalaman merupakan bagian dari Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) pada 2016 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud).
Kepada Rakyat Aceh (Jawa Pos Group), perempuan kelahiran Rimo, 12 Mei 1994 bercerita, saat bertolak bandara internasional Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar menuju Sambas, kedua orang tuanya berpesan untuk selalu menjaga diri. "Pulanglah dengan kondisi sama seperti kau berangkat," kenangnya.
Lantas, sepekan berada di Sambas, Kalbar, Zully sangat merasa sedih. Bahkan dia merasa tak percaya sudah berada di negeri orang, yang jauh dari keluarga dan tempat kelahiran. Apalagi di daerah perantauannya itu,dia merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan setempat. "Seminggu pertama rasanya pengen nangis. Rasanya badan nggak terima," tutur anak dari pasangan Adrian dan Sutiana itu.
Tantangan lain yang harus dihadapi adalah cuaca yang ekstrem dan menu makan. Selera makannya terus menurun karena menu makanan yang ada tak pas di lidahnya. Cuaca yang panas membuat penyakit yang diidap kambuh. "Penyakit sinusitisku kumat setelah satu tahun terakhir. Hidung berdarah, karena di sini cuaca panas. Meriang saja bawaannya dan nggak selera makan, kerena makanannya aneh-aneh. Makanya pengen nangis," kenang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia itu.
Begitu juga soal urusan cuci dan kakus. Saban hari Zully harus mandi dengan air berwarna hitam, hampir serupa dengan bahan bakar minyak solar. Warga di sana, mau tidak mau harus mengandalkan air sungai untuk kebutuhan itu.
Sekelumit kesusahan dan keterbatasan itu dihadapi dengan tegar dan tetap berusaha untuk menyatu dengan keadaan yang ada. "Mandi aja pakai air hitam. Air sungainya hitam. Cara mengatasinya, mau nggak mau harus mengikuti gimana budaya di sini. Harus membiasakan diri, menyukai makanan dan harus meng-enjoy-kan diri. Lama-lama terbiasa sih," tandasnya. (Murti Ali Lingga/mai/iil/JPG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar