Mariam Hammad, seorang perempuan asal Aleppo, berupaya untuk tetap menjadi mahasiswi di tengah berkecamuknya perang saudara dan 'kelamnya kehidupan' di Suriah.
"Kota saya telah berubah menjadi reruntuhan," katanya.
Meskipun terus menerus berada dalam bahaya, dan terpaksa hidup tanpa pasokan air bersih dan listrik saat mengungsi, namun tak menyurutkan langkah perempuan berusia 22 tahun untuk menjadi mahasiswi.
Empat tahun lalu, ia baru saja lulus dari sekolah menengah dan mulai kuliah di Universitas Aleppo ketika gedung itu dihantam roket, dan menewaskan puluhan mahasiswa.
"Saya melihat teman-teman saya tewas dan sampai sekarang saya masih belum bisa melupakan kejadian tersebut," ujar Mariam.
"Saya melihat banyak mahasiswa terluka dan cedera. Ada darah, kematian. Segala sesuatunya terlihat mengerikan."
Semuanya hancur
Selain di tempat belajar, bahaya juga mengintai di rumah saya. "Kematian menghampiri saya berkali-kali," kata Mariam.
"Saya beserta keluarga menyewa sebuah rumah yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari garis depan, dan banyak roket dijatuhkan di lingkungan saya berada.
"Banyak tetangga saya yang terbunuh, dan mortir menghantam rumah saya dua kali."
Ia ingat saat dirinya terbangun selama serangan, ia tidak bisa melihat apa pun karena berdebu dan gelap, jadi ia tidak tahu siapa yang hidup atau pun mati.
Mariam berbicara tentang kehidupan di Aleppo yang berubah menjadi "horor dan bahaya".
"Saya sering menangis saat saya melihat keadaan kota saya di depan mata, semuanya hancur," katanya.
Memilih untuk optimis
Namun, situasi peperangan ini membuatnya bertekad untuk melanjutkan dan menggunakan ilmunya sebagai cara untuk menghormati mereka yang telah meninggal.
Ia menjadi seorang mahasiswi daring dari medan peperangan, menyusul program gelar yang dijalankan oleh universitas yang berbasis di AS yaitu University of People, yang membuatnya sadar untuk menjadi seorang yang "optimistis" dan menciptakan rencana untuk "membangun kembali".
Namun, ini bukanlah hal mudah, katanya saat dihubungi lewat saluran video Skype.
"Jika ditanya apa hal tersulit menjadi seorang mahasiswa di Aleppo? Jawabannya adalah bagaimana tetap hidup di tengah-tengah peperangan," kata Mariam.
Sesekali masih ada roket dan ledakan mortir, meskipun sudah dilakukan gencatan senjata, tetapi ada juga masalah praktis besar yang akan mengganggu mahasiswa yang kurang berkemauan keras.
Tidak ada pasokan listrik
"Kami hidup tanpa aliran listrik selama dua tahun," katanya.
Sebagai gantinya, orang-orang di sini mengandalkan genset yang mungkin beroperasi selama beberapa jam dalam sehari.
Mariam mendatangi toko setempat yang dilengkapi dengan genset kecil, di sana bisa mengisi batere ponsel dan laptop tuanya selama 12 jam, dan ia menghemat baterai laptop sehingga ia bisa belajar.
Koneksi internet juga lambat dan ketika waktu ujian sudah dekat, jaringan internet dimatikan.
Khawatir gagal dalam ujian, Mariam mulai melakukan persiapan untuk pergi ke Damaskus agar bisa mengikuti ujian.
Di mata Mariam, perang saudara ini bisa menjadi sangat berbahaya, namun teman-temannya berhasil menghubungi universitas, dan ia mampu mengatur kembali ujiannya.
Cuaca panas dan masalah penerangan menjadi tantangan sehari-hari, terutama di musim dingin, dengan suhu di bawah titik beku Aleppo pekan ini.
Air bersih hanya tersedia setiap tiga atau empat minggu. "Saat air ada, kami menyimpan banyak," katanya, seraya mengisi wadah air.
Hari normal
Pertempuran panjang bukan hanya berlangsung antara pemerintah dan pasukan pemberontak di Aleppo, namun ada juga kelompok yang menamakan diri sebagai Negara Islam (ISIS) yang keberadaannya tidak jauh dari kota itu.
Mariam mengatakan mereka berupaya untuk memotong jalan ke kota beberapa hari yang lalu, namun ia juga mengatakan ada pertarungan ide dan kebutuhan untuk melindungi hak atas pendidikan.
Kehadiran mereka bahkan membuat Mariam lebih bertekad untuk terus belajar.
Perempuan muda ini harus belajar di malam hari dengan cahaya lilin. Namun, ia tidak mengeluh. Malah, ia berbicara soal kerinduannya untuk menjalani satu "hari normal" sebagai seorang mahasiswi.
Dan apa yang akan ia lakukan dengan itu?
"Saya ingin melakukan banyak hal hari ini," katanya.
"Saya ingin berkuliah di kampus layaknya seorang mahasiswa.
"Saya ingin pergi bermain dengan teman-teman saya.
"Saya ingin berkumpul dengan keluarga saya."
Lalu, ia berhenti sejenak. "Dan ingin melihat teman-teman saya yang hilang ," katanya.
Membangun kembali masa depan
Tetapi dalam situasi menghadapi kehancuran, mengapa ia begitu mengkhawatirkan soal gelar?
Mariam mengatakan pengalaman perang telah membuat pendidikan nampak lebih penting, sesuatu yang positif yang menghubungkan orang-orang dengan peluang untuk membangun kembali kehidupan yang lebih baik.
"Kami memiliki motivasi yang kuat membangunnya, tak peduli seberapa berat," katanya.
"Anda bisa melihatnya saat anak-anak pergi ke sekolah, meskipun mereka bisa terkena bom setiap saat."
"Pendidikan selalu penting dalam hidup saya.
"Ini memberi saya harapan bahwa saya bisa memiliki masa depan yang lebih baik.
"Ini akan membantu saya untuk membangun kembali negara saya dan segala sesuatu yang telah hancur."
Mariam tengah menuntut ilmu untuk meraih gelar bidang bisnis dengan University of People, yang berbasis di California, yang membantu orang-orang di seluruh dunia yang tidak memiliki akses ke universitas, termasuk 15 siswa di Aleppo.
Universitas online, yang didukung oleh orang-orang berasal dari Gates Foundation, Hewlett Packard dan Google, menawarkan program gelar empat tahun terakreditasi, mereka memperoleh pengajaran dari para relawan akademisi dan staf universitas yang sudah pensiun.
Presiden universitas, Shai Reshef, mengatakan, "Kami adalah sebuah pilihan bagi mereka yang tidak memiliki pilihan lain."
Mariam melihat proses belajar ini sebagai semacam garis hidup dan sumber harapan dan ia mengatakan setiap siswa di seluruh dunia harus menghargai kesempatan yang mereka miliki.
Ia hanya bisa bermimpi untuk memiliki sebuah "kehidupan normal seperti mereka".
"Saya berharap bahwa siapa pun melihat cerita saya tidak akan berkecil hati dengan kesulitan yang mereka hadapi," katanya.
"Saya yakin bahwa setelah kesulitan yang kita alami ada kelahiran kembali yang besar, dan untuk menghormati teman, tetangga dan orang-orang Suriah yang kehilangan nyawanya karena perang ini, kita harus tetap optimistis."
Dan bagaimana jika keyakinan itu goyah?
"Jika saya merasa putus asa, ibu saya mengatakan kepada saya, 'ini akan berlalu.'"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar