Kepala BPJS Kesehatan Yogyakarta, Sri Mugirahayu (Kusnul Isti Qomah/JIBI/Harian Jogja)Kisah inspiratif berikut mengenai perjalanan karier Kepala BPJS Kesehatan Yogyakarta.
Harianjogja.com, JOGJA — Sri Mugirahayu menjadi orang nomor satu di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Cabang Yogyakarta. Catatan kariernya menunjukkan ia sering berpindah tugas dari satu wilayah ke wilayah lain yang menuntut kecepatan adaptasi dan perubahan pola berpikir dari konseptor menjadi eksekutor.
Ia mengungkapkan, pada 2003 ia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Bandung dan mulai masuk ke PT Askes akhir 2005 hingga saat ini dengan nama BPJS Kesehatan. Pertama kali bertugas ia dikirim ke Parepare kemudian ke Makassar, Magelang, dan DIY pada 2009. Ia memulai karier dari posisi bawah sebagai staf atau pelaksana.
"Kemudian, saya disekolahkan di Jerman, lalu pulang ke DIY, kemudian Semarang, Jambi, Bali, Kantor Pusat, dan kembali ke DIYsebagai kepada cabang," ujar dia kepada Harianjogja.com di Jogjakarta Plaza Hotel, Jogja, Senin (30/1/2017).
Seiring perpindahannya, ia terus mengalami kenaikan jabatan hingga posisi saat ini. Kesempatan itu membuatnya bertemu banyak orang dan menghadapi banyak tantangan sehingga diperlukan keteguhan dan dukungan dari keluarga. Ia pun harus cepat beradaptasi karena selalu berganti lingkungan yang baru.
"Kalau dibilang comfort zone, saya enggak pernah alami. Setiap pindah tantangan luar biasa," tutur dia.
Tidak hanya lokasi yang berpindah, ia juga harus berpindah dari struktural ke fungsional. Ketika bertugas di kantor pusat, ia menjadi seorang thinker atau konseptor yang menyusun program dan memastikan bagaimana setiap program bisa dijalankan. Hal itu menuntut dia untuk terus belajar, mencari literatur, dan benchmark ke luar negeri.
Begitu pindah tugas sebagai kepala cabang di DIY, ia harus menjadi seorang eksekutor, menghadapi orang dan masalah. Pola berpikir yang digunakan benar-benar berbeda dan harus melakukan semuanya berdasarkan regulasi yang ada. Namun, menjadi eksekutor membuat dia memahami beberapa aturan yang dahulu dibuat ternyata sulit diterapkan di masyarakat.
"Jadi bisa kasih masukan untuk regulasi yang susah dijalankan. Kalau enggak ada uji publik, regulasi akan susah [diterapkan]," jelas dia.
Ia mengaku tidak memiliki masalah dengan beradaptasi, tetapi ia memiliki passion sendiri yakni menjadi seorang konseptor. Tekanannya lebih besar karena langsung berurusan dengan top management. Menjadi seorang konseptor menuntut dia harus memiliki wawasan yang luas, bertemu banyak ahli, dan kadang harus berpikir di luar kotak.
"Kalau di daerah, lebih ke menjaga harmonisasi dengan pemangku kepentingan seperti Pemerintah Daerah. Saya enggak ada masalah untuk adaptasi, tapi passion saya di konseptor," tutur dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar