LAMPUNG TIMUR, KOMPAS.com - Butuh waktu 10 menit untuk menunggu si empunya gubuk untuk muncul setelah pintu diketuk.
Nenek dengan tubuh bungkuk membukakan pintu dengan senyum mengembang dari wajah ramah. Sebuah tongkat dipegangnya untuk menyangga tubuh.
Gigi hitam dan kotor menghiasi senyumnya. Sesekali sengal nafas terdengar ketika dia mempersilakan para tamunya masuk.
"Saya sakit batuk-batuk dan agak sesak nafas," kata Sriyati (90) yang mengenakan kemben jarik.
Perabotan bekas botol minuman plastik, toples plastik, termos, gelas dan teko usang berserakan di lantai tanah.
Sejumput nasi dan tempe goreng sisa makanan yang telah berjamur masih ada di sebuah piring yang menumpuk bersama perabotan bekas lainnya. Aroma apek, pesing dan sisa kotoran manusia menyelimuti gubuk yang tidak berjendela itu.

Tepat di samping gubuk, ada perkebunan kecil. Di sanalah, Sriyati kerap buang hajat.
Cukup
Selasa (28/3/2017) pagi, hujan lebat mengguyur Dusun 2, Desa Gedung Wani, Kecamatan Marga Tiga, Kabupaten Lampung Timur.
Sriyati yang kerap disapa Mbah Japar oleh warga sekitar bercerita, dirinya tinggal sebatang kara di gubuk itu. Jika hujan turun, dia mengaku sering bersembunyi di kolong tempat tidurnya.
"Ya kalau hujan, airnya masuk saya nyumput di kolong sini," ungkap Mbah Japar sambil tertawa.
Kondisi seperti itu tak membuatnya berniat pindah dari gubuk yang dihuninya sejak sekitar 46 tahun silam itu. Dia sudah merasa cukup.
Sebelum sakit-sakitan, Mbah Japar bercerita, dirinya masih bisa menghidupi diri dengan menjadi buruh arit padi dan berdagang pecel lontong keliling kampung.
Kini, fisiknya kian melemah dan tak ada sumber penghasilan yang bisa diusahakannya. Dia kini hanya mengandalkan bantuan dari tetangga dan warga sekitar. Namun demikian, Mbah Japar tidak pernah mau diajak ikut dengan orang lain.
"Biar saya di sini sampai mati, saya tidak mau menyusahkan orang lain," ujarnya.
Sigit Wahyu Subekti, Kepala Desa Dusun II, ingat betul, Mbah Japar sudah tinggal di gubuk itu sejak dirinya masih kecil.
"Saya masih kecil ya Mbah Japar sudah tinggal di sana dan sendirian. Tidak punya anak dan dia seorang janda," katanya.

"Sudah tiga kali, kami berswadaya membangun gubuk yang dihuni Mbah Japar, dari dulu Mbah enggak punya apa-apa," ujar dia.
Sebelum dia diangkat sebagai lurah, Sigit mengaku pernah melaporkan kondisi Mbah Japar kepada camat. Namun, tak kunjung ada tanggapan.
"Mbah Japar ya hanya mengandalkan pemberian dari warga saja," tambahnya.
Bantuan
Beberapa hari terakhir, rumah Mbah Japar sering kedatangan orang yang membawa bantuan seperti beras, susu dan mi instan.
Tetapi kondisi fisik yang sudah renta, Mbah Japar tidak bisa mengolah makanan pemberian para penderma menjadi makanan yang siap dikonsumsinya.
"Dikasih mi, dikasih beras, ya enggak juga dimasak sama si Mbah sampai akhirnya kedaluwarsa," tuturnya lagi.
Warga desa dan sejumlah orang yang datang menjenguknya kini tengah merayu untuk dibawa ke panti jompo atau membawanya pada tempat yang layak. Tetapi Mbah Japar tetap dengan pendiriannya ingin tinggal di gubuk tersebut sampai mati.
"Justru sekarang ini si Mbah merasa, kami orang kampung tidak menerimanya dan merasa banyak orang ingin mengusirnya dari tempatnya yang sekarang ditinggalinya," tutur Sigit.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar