Selasa, 09 Mei 2017

Mereka Membuka Pintu Lebar-lebar untuk Imigran, Ini Kisah Mereka

DEKAT: Mohammed (kiri) bersama Joanne MacInnes, Eve, 14, dan Malila, 12. (The Guardian)

JawaPos.com – Banjir imigran di Inggris disikapi dengan beragam. Di antara itu, ada keluarga-keluarga yang membuka pintu mereka dan menerima imigran untuk tinggal di bawah satu atap. Berada di bawah organisasi Qureshi, yang digagas Robina Qureshi, para keluarga ini bergabung dalam program Positive Action in Housing (PAIH). Sebelum 2015, mereka menyediakan 600 malam untuk para imigran-imigran itu untuk tinggal di dalam rumah relawan. Namun 18 bulan kemudian, angkanya naik menjadi 29 ribu malam. Ini kisah mereka.

Ada Mohammed. Lelaki 34 tahun ini berasal dari Palestina. Dia tinggal di rumah Joanne MacInnes yang memiliki dua anak perempuan, Eve, 14, dan Malila, 12. "Kami suka bermain kartu. Mohammed tahu trik-trik yang bagus. Apa lagi ya? Nonton TV dan bermain games," kata Malila mengenai kegiatan yang sering mereka lakukan.

Mohammed juga mengajari Malila huruf Arab. "Malila ingin pamer di depan teman-teman Arabnya," kata MacInnes. Mohammed sudah tinggal bersama Keluarga MacInnes sejak Mei 2016. Dia dari Palestina namun kemudian berpindah-pindah sejak kecil ke Syria, Iraq, Mesir, dan Libya. Dia berada di Inggris selama tujuh tahun untuk mencari suaka. Sebelum PAIH menemukannya, dia tidak punya tempat tinggal dan berada di jalan.

MacInnes menjadi host untuk enam imigran di rumahnya. Namun, Mohammed adalah idola mereka. "Dia paling baik," kata Eve. Mereka bahkan mencoba mencarikan istri buat Mohammed. Tetapi, dengan status imigrasi yang tidak jelas, itu tidak mudah.

Mohammed sudah menganggap keluarga ini adalah keluarganya. "Ayah saya meninggal, ibu dan kakak saya juga meninggal. Joanne, Mali, dan Eve adalah keluarga saya," katanya.

Kushi

Kushi

JADI TEMAN: Kushi dan Jo Haythornthwaite. (The Guardian)

Kushi, 51, berasal dari Pakistan dan tinggal bersama Jo Haythornthwaite, pensiunan dan executive Maryhill Integration Network, di Glasgow. Haythornthwaite sudah menjadi host untuk 10 orang sejak bergabung bersama PAIH. "Saya terlibat 10 tahun yang lalu saat membeli apertemen luas ini," kenangnya.

Kushi sudah tinggal bersamanya sejak 2014 setelah permohonan suakanya ditolak. Saat ini Kushi belajar membaca dan menulis dalam bahasa Inggris. Dijelaskan Haythornthwaite, tetangganya mengetahui kalau dia menjadi host pengungsi. Bantuan pun datang.

Kushi pun bersyukur bisa tinggal bersama Haythornthwaite. "Saya menghormatinya. Dia peduli pada saya. Jika saya tidak dibantu olehnya, saya mungkin berada di RS gila. Mungkin hidup saya tidak akan aman," kata Kushi.

Malik

Malik

MENANTI: Malik (kiri) berpose dengan Hena Bhatti dan Hugh Wyeth. (The Guardian)

Kasus Malik berbeda dengan imigran atau pencari suaka lain. Malik yang berasal dari Sierra Leone datang ke Inggris saat berusia 17 tahun. Ayahnya memiliki paspor Belgia dan sudah memohon agar putranya bisa bekerja dan mengunjungi Eropa. Tetapi, dokumen Malik tertahan di Departemen Dalam Negeri. Akibatnya, Malik tidak bisa bekerja .

Saat ini lelaki 21 tahun itu tinggal bersama Hena Bhatti, graphic designer, dan Hugh Wyeth, architectural illustrator, di London selatan. "Sebelumnya saya bergabung bersama Night Stop. Mereka juga memberikan tempat untuk tinggal. Namun karena dokumen saya tidak ada maka mereka tidak bisa menampung saya lagi," katanya.

Bersama Bhatti dan Wyeth, Malik merasa seperti saudara. Wyeth mengajak Malik hang-out dan melakukan hal-hal yang biasa dilakukan lelaki. "Serasa punya teman satu kos," sambungnya.

Hamid

Hamid

AKRAB: Hamid (kiri) bserama Gen dan Alison Cannibal. (The Guardian)

Hamid, 38, berasal dari Iran dan sekarang tinggal bersama Gen dan Alison Cannibal, di Glasgow, Inggris. Alison adalah guru sekolah dan Gen berprofesi sebagai konsultan lingkungan. Hamid tiba di Inggris 10 tahun yang lalu dan memohon suaka. Tetapi masih ditolak. Setahun yang lalu Hamid tinggal bersama Alison dan Gen. "Saya punya ibu dan ayah baru sekarang," katanya.

Dikatakan Alison, mereka sekarang menjadi teman. "Kami suka berdebat mengenai hidup dan dunia. Hamid bilang dia merasa seperti punya orang tua dan kami merasa seperti punya anak lain. Hamid belajar banyak mengenai makanan sejak di sini karena saya suka masak. Iya kan Hamid?" kata Alison.

"Dia juaranya. Dia (Alison, Red) harus menulis buku atau membuat video yang diposting di YouTube," puji Hamid. (theguardian/tia)

Rekomendasi Untuk Anda

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search