LESU? Lemas? Sulit mempertahankan godaan makanan, minuman dan emosi di hari awal bulan puasa Ramadan? Cobaan macam begini banyak merongrong hati tiap muslim di Indonesia. Tapi cupu ah kalau pilih batal puasa tanpa alasan yang serius.
Tengok para orangtua kita. Mungkin kakek-nenek Anda salah satunya, tentang bagaimana mereka harus melalui bulan puasa dalam masa perjuangan.
BERITA REKOMENDASI
Dalam masa negeri kita masih dirongrong Belanda, seperti yang terjadi pada bulan puasa Ramadan 1366 Hijriah (H). Ketika itu, hampir semua masyarakat Indonesia, terutama yang beragama Islam, berpuasa dalam keadaan di bawah desingan peluru Belanda.
Kalau dihitung-hitung, berarti itu bulan puasa pada bulan Juli 1947. 1 Ramadan 1366 H itu sendiri jatuh 19 Juli 1947 yang artinya, dua hari jelang Belanda melancarkan Agresi Militer I berkode "Operatie Product".
Agresi yang "merobek-robek" Perjanjian Linggarjati antara RI dan Belanda, Oktober 1946. Jelang hari H Agresi pada 21 Juli 1947, tepatnya pada 20 Juli malam, Legercommandant Letjen Simon Hendrik Spoor memerintahkan serdadu elite-nya lebih dulu melakukan pengepungan dan penangkapan.
Sejumlah kantor dan instansi pemerintah RI direbut. Termasuk Kantor Penghubung Tentara Republik Indonesia (TRI, kini TNI) di Jalan Cilacap Nomor 5, Jakarta Pusat. Para penghuninya ditangkapi dan dibuang ke Penjara Bukit Duri.
Baru pada 21 Juli Belanda menggelar operasi besar-besaran. Garis demarkasi di Bekasi, diterobos dengan bantun milisi lokal pengkhianat pimpinan H Pandji, HAMOT (Hare Majesteit's Ongeregelde Tropen).
Tidak hanya di Pulau Jawa, Belanda juga mengacak-acak wilayah republik di Sumatera, termasuk Aceh. Awalnya di Aceh, warga hanya dikagetkan datangnya sebuah pesawat Belanda yang terbang rendah demi menyebarkan pamflet.
Pamflet propaganda bahwa pemerintah republik menghalangi kerjasama dan mengorbankan rakyat. Lantas TRI dan elemen-elemen perjuangan lainnya, segera membentuk kubu-kubu pertahanan di pesisir.
Semangat perlawanan meski di bulan puasa, tetap gigih dan ini yang tak disangka Belanda. Mereka mengira karena tengah masuk bulan puasa, perlawanan tentara republik akan melemah.
"Jadikanlah ibadah puasa sebagai jembatan untuk mempertebal iman dan perjuangan," cetus Residen Aceh dalam 'Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947)' oleh Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo dan Ediati Kamil.
"Kita selalu digempur dengan cara besar-besaran oleh tentera Belanda. Jangan disangka kita akan lemah dalam menghadapi mereka karena kita sedang berpuasa. Kita kuat menghadapi mereka kapan saja dan di mana saja," tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar