Senin, 26 Juni 2017 | 14:30 WIB
Jamaah Tarekat Syattariyah, melaksanakan salat Idul Fitri di komplek makam Syekh Burhanuddin, Ulakan, Padangpariaman, Sumatera Barat, 26 Juni 2017. Jamaah Syattariyah Sumbar merayakan Idul Fitri sehari setelah waktu yang ditetapkan pemerintah. ANTARA/Iggoy el Fitra
TEMPO.CO, Jakarta - Sosok Guru Marzuqi bin Mirshod Cipinang Muara tidak terlepas dari sejarah besar masuknya Nahdlatul Ulama di Jakarta. Ia kemudian membuat satu kitab tentang hilal, atau penentuan waktu Ramadan dan Lebaran. Hari ini, para murid-muridnya merayakan Lebaran lebih lambat sehari ketimbang ketetapan pemerintah.
"Beliau hidup semasa dan selevel Hadhratussyaikh KH Hasyim Asyari," kata Sekretaris Pengurus Masjid Al-Marzuqiyah, M. Kholid Lutfi pada Senin, 26 Juni 2017. Guru Marzuqi juga sempat mendirikan pesantren di kawasan Cipinang. Murid-muridnya kini menjadi ulama besar di Indonesia.
Marzuqi sempat diminta oleh Hasyim Asyari untuk mendirikan Nahdlatul Ulama di Jakarta. Ia menjadi satu di antara tokoh yang menyebarkan ajaran NU di Jakarta. Bahkan ia sempat membuat 7 kitab, buah pemikirannya tentang Islam.
Baca: Jamaah di Masjid Al Marzuqiyah Berlebaran Hari Ini
Ketujuh kitab-kitabnya itu meliputi permasalahan di bidang fiqih, tassawuf, dan lain sebagainya. Satu di antaranya yakni terkait dengan kitab rujukan menentukan waktu Ramadan dan Lebaran. Pesantrennya masa itu sangat besar dan terkenal di Jakarta.
"Beliau kemudian wafat pada 1934," ucap dia. Pesantren itu kemudian dikelola menantunya. Namun tak lama, pada 1954 menantu Marzuqi wafat. Semenjak itu, tidak ada penerus pesantren Marzuqiyah. Apalagi para murid Marzuqi telah tersebar dan membuat pesantren sendiri di masing-masing daerah.
Pesantren Marzuqiyah tak terurus. Kemudian pada 1970-an, pesantren itu dipugar menjadi Masjid Jami Al-Marzuqiyah. Tempat yang semula musala kecil dirombak menjadi masjid besar. Di tempat itu juga ada makam Marzuqi yang kerap dikunjungi murid-muridnya.
Saat ini pesantren Marzuqi sudah tak ada lagi. Namun nilai-nilai yang diajarkan Marzuqi tak pernah hilang. Ada banyak santrinya yang masih "takzim" dengan Guru Marzuqi. "Jumlahnya kami tidak tahu persis."
Satu di antara ajarannya tentang penentuan Ramadan dan Lebaran selalu dijalankan murid-muridnya. Penentuan masa Lebaran selalu dilakulan minimal 7 derajat bulan Syawal. "Murid-muridnya dan keturunannya telah menjalankan metode ini sejak lama dan tidak ada masalah," kata Kholid.
Di sana warga setempat saling menghargai. Masing-masing warga menghargai yang memilih Lebaran hari Minggu atau Senin. Mereka menganggap perbedaan itu hal biasa. Kholid juga mengatakan bahwa dia hanya berbeda dalam penentuan waktu Lebaran saja, selain itu sama saja dengan lainnya.
Di Masjid Al Marzuqiyah juga sering menggelar perayaan Lebaran berbarengan dengan hari yang ditetapkan pemerintah. Pada tahun lalu, mereka merayakan Lebaran barengan dengan pemerintah, termasuk Muhammadiyah dan NU. Sedangkan pada 2015 Lebaran dilaksanakan di hari berbeda dengan pemerintah.
Sebelumnya, ratusan warga itu berdatangan dari kawasan Cipinang dan beberapa wilayah lain di Jakarta. Rata-rata dari mereka adalah murid Guru Marzuqi. Seorang ulama Nahdlatul Ulama asal Betawi yang hidup pada 1900-an.
Marzuqiyah memiliki ajaran pada umumnya seorang kiai NU. Yang berbeda, ia membuat kitab peblnghitungan hilal bulan Syawal. Mereka akan Lebaran setelah melihat hilal minimal 7 derajat.
AVIT HIDAYAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar