Jumat, 30 Juni 2017

Menilik Kisah Kehidupan Wanita Suku Banjar di Bantaran Sungai Martapura

*Gadis atau Janda? Lihat Saja Ikat Sarungnya

Sungai Martapura tak hanya menyuguhkan kawasan pasar apung Lok Baintan. Dalam perjalanan menuju ke sana, pemandangan kehidupan Suku Banjar penghuni bantaran sungai memiliki kisah tersendiri. Salah satunya kisah tentang sarung dan wanita Suku Banjar. Dari cara bersarungnya, kita bisa mengetahui status wanita tersebut. Entah dia gadis, atau sudah menjanda. NOVIA R –BANJARMASIN

Menilik Kisah Kehidupan Wanita Suku Banjar di Bantaran Sungai Martapura
AKTIVITAS PAGI – Masyarakat yang mendiami bantaran sungai Martapura saat melakukan rutinitas pagi di pinggir kali. Seperti mencuci, mandi dan lain sebagianya.
NOVIA ROCHMAWATI

Ke Banjarmasin kurang lengkap rasanya jika tak singgah ke Pasar Apung Lok Baintan. Pasar yang makin moncer setelah menjadi latar belakang branding salah satu stasiun tv swasta ini menawarkan jual beli yang menarik. Karena baik pembeli dan penjual saling bertransaksi di perahu.

Namun, tak hanya Pasar Lok Baintan yang menyimpan kisah seru. Perjalanan panjang menunju pasar tersebut juga menyuguhkan wawasan baru. Utamanya tentang adat istidat dan tradisi masyarakat Suku Banjar penghuni bantaran Sungai Martapura.

Pagi itu, pukul 5.30 WITA Tim Radar travel mulai menyusuri Sungai Martapura untuk menuju Pasar Lok Baintan dengan kapal kayu. Di sepanjang perjalanan, kita bisa melihat rutinitas pagi masyarakat Suku Banjar. Jika diamati dengan seksama wanita Suku Banjar melakukan rutinitas pagi dengan memakai sarung. Meski sekarang sudah ada di antara mereka yang mengenakan pakaian berjahit macam daster, terusan dan lainnya.

Wanita bersarung inilah yang mencuri perhatian Tim Radar Travel. Pasalnya jika diperhatikan lebih dekat, mereka punya ikatan sarung yang berbeda. Ada yang diikat tengah, diikat di bahu kanan, ada pula yang diikat di bahu kiri.

Menurut keteragan masyarakat sekitar, Yusuf (40) ikatan sarung atau yang kerap disebut batapih menjadi adat wanita Suku Banjar. Tiga jenis ikatan sarung tersebut punya makna sendiri yang menunjukkan status pernikahan mereka.

Wanita yang sudah bersuami, biasanya akan mengikatkan sarung di atas dada. Ikatan tersebut menjadi tanda kalau laki-laki lain dilarang menggoda atau memberikan harapan untuk meminang mereka. Sementara ikatan sarung di bahu menandakan bahwa wanita tersebut lajang, baik gadis atau janda. Yang membedakan adalah di bahu mana mereka meletakkan ikatan tersebut.

"Kalau di bahu kiri berarti wanita itu berstatus janda. Sedangkan kalau di kanan artinya mereka masih gadis. Kedua golongan ini siap dipinang oleh lelaki," terangnya.

Lebih lanjut, Yusuf menerangkan, tradisi ini sudah ada sedari dulu. Hal ini untuk mencegah zina dalam pergaulan masyarakat Suku Banjar. Terlebih kebanyakan Suku Banjar sendiri menganut Islam. Semisal ada lelaki yang tertarik pada wanita berikat sarung di bahu, lelaki tersebut diharuskan menghadap salah satu anggota keluarga.

"Kalau di Jawa mungkin istilahnya nembung ya. Tidak harus sama orang tuanya, tapi bisa juga ke saudaranya. Nah kalau sudah nembung itu semacam kayak ada pertemuan, mungkin kayak taaruf gitu. Nah kalau sudah ditemukan dan si wanita setuju bisa lanjut ke tahap selanjutnya. Kalau si wanita diam saja, itu artinya setuju. Kalau menolak ya harus diucapkan secara lisan," terang lelaki yang berprofesi sebagai pemandu wisata ini.

Untuk anda, yang sedang berlibur ke Banjarmasin, tidak ada salahnya mengamati pemandangan Bantaran Sungai Martapura. Terlebih bagi pria lajang, ini bisa menjadi kesempatan anda untuk menemukan jodoh. Tak ada salahnya kan pulang liburan menghalalkan janda atau perawan Kalimantan? (nov)

Penulis:Novia Rochmawati | Radar Pekalongan
Redaktur:Dalal Muslimin

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search