Senin, 19 Juni 2017

Nasib putri duyung kecil yang dirusak di Kopenhagen

Pengunjuk rasa yang menjadikan patung terkenal di Kopenhagen, Denmark, sebagai sasaran aksi memicu kembali kenangan tentang perubahan pandangan atas mitos manusia-ikan selama ini.

Dalam aksi terbaru, Rabu (14/06), patung itu disemprot lagi dengan cat berwarna biru dan putih.

Mari kita pikirkan sebentar patung The Little Mermaid, Putri Duyung Kecil.

Sudah 104 tahun sejak pematung berdarah Denmark-Islandia, Edvard Eriksen, membuat patung perunggu perempuan setengah ikan, yang menatap sedih dari tempat duduknya di pinggir kawasan pejalan kaki Langelinie di Kopenhagen.

Sepanjang usianya, patung setinggi 1,25 meter tersebut sudah dipenggal dua kali, lantas dipukul di bagian leher dalam upaya untuk memutus kepalanya, maupun dicat dengan warna mencolok, atau dilekatkan dengan mainan seks, dan dasar tempat duduknya juga pernah dibom sehingga tubuhnya jatuh.

Patung Eriksen sejak awal memang ditempa dalam kekerasan. Diinsipirasi oleh karya penulis Denmark, Hans Christian Andersen, tentang putri duyung yang jatuh cinta dan amat ingin mendapatkan roh manusia abadi sehingga dia bersedia mengorbankan suara dan kemampuannya untuk pulang kembali ke rumahnya di dalam laut kepada Sang Penyihir Laut.

Kepala dan wajahnya adalah penari balet, Ellen Price, yang menolak telanjang saat menjadi model patung, sehingga wajahnya dipasangkan ke tubuh telanjang istri Eriksen, Eline.

Hasilnya adalah sebuah campuran yang dipaksakan, yang tampak berada di batas samar-samar antara kenyataan dan fantasi, antara harapan dan kemalangan, antara dunia ini dan dunia yang lain.

Berbagai gangguan atas Putri Duyung Kecil ini kembali menjadi perhatian dengan munculnya berita tentang serangan baru atas patung itu, pada 30 Mei lalu. Kali ini di tangan para pegiat antiperburuan Paus.

Untuk menentang perburuan paus pilot yang bersirip panjang di Atlantik Utara, para perusak mencat maskot Kopenhagen ini dengan warna merah dan menulis -juga dengan warna merah- di kaki lima di dekatnya tuntutan: 'Denmark lindungi paus di Kepulauan Farow."

Di balik lapisan cat merah, seolah-olah putri duyung itu basah kuyup oleh darah. Vandalisme yang membuat mahluk campuran tersebut bisa dilihat sebagai pelaku dan juga sekaligus korban dari kekerasan -sebuah keraguan yang menakutkan, yang mengubah patung karya Eriksen tersebut dari sebuah keajaiban dongeng menjadi sesuatu yang menghantui dan beralamat buruk.

Dalam kondisinya yang rusak, karakter patung yang menakutkan itu mengingatkan pada peri laut yang merayu para awak perahu dan masuk ke dalam malapetaka dengan senandung rayuannya.

Jauh sebelum Andersen secara mempesona mengangkat kembali kisah putri duyung pada abad ke-19 dan membuat para pembaca bersimpati atas nasib tragisnya, penjelmaan dari karakter itu juga sudah mengganggu para pembaca dengan kisah-kisah tentang hewan pada abad ke-13 maupun ilustrasi tentang hewan nyata dan dongeng.

Diciptakan oleh seorang seniman abad pertengahan Inggris yang namanya sudah menghilang ke dalam kabut sejarah, gambaran tentang perempuan setengah ikan yang bernyanyi nyaring kepada pelaut -yang berupaya menutup telinganya- adalah salah satu ilustrasi yang menarik dari kisah-kisah peri laut.

Dan seorang pelaut berwajah suram yang mengenakan pakaian berwarna merah darah yang dengan lemah memegang dayung penuh darah, bukanlah pertanda baik bagi kelangsungan hidupnya.

Ditaruh berdampingan dengan foto Putri Duyung Kecil yang dirusak di Kopenhagen, ilustrasi kuno tersebut mengungkap betapa dalamnya perlambang dari putri duyung yang meresap ke dalam imaginasi budaya kita.

Silahkan baca artikel aslinya dalam Bahasa Inggris, The vandalised little mermaid dan tulisan lainnya di BBC Culture.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search