Jawab Bon,"Terserah apa maumu. Apa katamu. Aku lelah menghadapi konspirasi kelompok Bunga Jingga."
Mahatma Selo kembali bertanya agak menyindir. "Dia Kakak perguruanmu."
Bonsiva Adhibunga, agak sebel sedikit. Jawabnya. "Lantas?"
Lanjut Mahatma Selo. "Suka atau tidak. Dia Kakakmu, seguru seilmu."
Bon benar-benar kesal dibuatnya. "Ngomong muter-muter. Kau bosan bersahabat denganku, akan kembali ke perguruanmu." Hening sesaat. Hamparan cantik candi-candi teratai tampak indah di tengah danau. Di kejauhan para Biksu terlihat seperti gemerlapan dengan jubah warna mereka.
Langit pengkhianatan di ambang ledakan besar. Pemerintahan Ratu Melati Langit, tengah goyah. Para satria utama menepi. Kembali ke perguruan masing-masing. Kerajaan Mara Kumara, di guncang politik pemuka pemerintahan bermuka dua, menggoyang keyakinan Ratu Melati Langit, agar berpihak pada kelompok Bunga Jingga.
Ratu Melati Langit, subjek utama kata pengkhianatan, bagai robot kian kemari. Memicu perseteruan, persaingan, pergolakan sunyi, intimidasi, aura hipokrit antargolongan, akibat satu kata, konspirasi. Gelegar pesona kerajaan Mara Kumara. Semburat merah darah.
Kabar kematian mendadak Ratu Melati Langit, mengguncang malam. Sangkala syair megatruh menggema memicu kepanikan warga. Upacara pemakaman singkat telah dilaksanakan. Ratu telah mangkat. Raja pun lebih dahulu mangkat dalam kematian aneh penuh tanda tanya. Tahta tak bertuan. Para Sengkuni, mengeluarkan isu racun berbisa.
Pangeran Satu Semesta, diselamatkan Bon, tanpa diketahui siapapun. Sebelum kekacauan setelah wafatnya Ratu Melati Langit. Bon tak tega, menitipkan pangeran muda belia kepada pertapa di ujung benua berbatasan dengan Benua Biru. Jauh dari sanak famili dan pengawal setianya. Tak ada pilihan. Hanya itu satu-satunya cara menyelamatkan masa depannya.
Berita. Simpang siur. Isu-isu mengenai kerajaan Mara Kumara meruntuhkan pamornya. Ekonomi goyah. Rakyat dilanda resah. Konspirasi. Trans kata itu menentukan titik didih perjalanan para khianat, oportunis, langit di atas kerajaan merah neraka. Perang, kebrutalan, invasi, baratayuda antar isme permainan kultus konspirasi, politisasi tahta tak bertuan.
Kancah para satria utama sungguh menyepi, menjauh. Kekacauan di langit kerajaan Mara Kumara, meluas, hidup ogah mati tak mau. Bagai kiamat dunia dibuat sesaat. Paranoia mencapai kepentingan pemodal, preman intelektual kelompok hitam menuju label atas nama. Kebenaran satu sisi, gelap di sisi sebaliknya. Senjata menjadi penentu kematian.
Ambang batas eksistensi harkat kehidupan seakan nol. Pintu atas nama terbuka, siapa kuat siapa menang. Kabar terakhir konon kekayaan kerajaan Mara Kumara, dijarah kelompok si Malaikat Hitam. Separuh dari kerajaan dibakarnya. Runtuh atau tidak, situasi telah kacau sedemikian rupa. Pemerintahan wajib diselamatkan.
Heroisme. Kemenangan Malaikat Hitam atas kelompok Bunga Jingga, mengguncang kancah pendekar satria utama tengah nyepi membungkam diri. Kekuasaan mono-rel Malaikat Hitam, konon memanah neraka. Rakyat Mara Kumara, mengungsi ke berbagai wilayah hingga perbatasan Kerajaan Martabara, di luar perbatasan Benua Biru, selamat dari kebengisan Malaikat Hitam.
Namun, di balik kekalahan kelompok Bunga Jingga, si Malaikat Hitam, memanah neraka kedua, mencipta keonaran memancing di air keruh, mencoba mengguncang kancah satria utama, agar keluar dari pertapaan perguruan masing-masing. Tak satupun dapat diprediksi, siapa mampu mengembalikan kejayaan Mara Kumara.
Mahatma Selo tengah berlatih di antara awan-awan lembayung, menggoda para elang utama, kelompok burung sakti, hanya ada di wilayah Benua Biru hingga perbatasan Samudera Hindia. Elang Perak, mendadak hadir, sekilat kuat terbangnya. "Kak! Kak!." mendarat di puncak hutan bambu.
Mahatma Selo, mendarat pula di atas hutan bambu, keduanya berhadapan. "Kau murung sekali," Elang Perak, mengeluarkan gulungan lontar dari paruhnya. Berisi prosa bersandi "Provokasi mendarat di antara situasi hidup. Siluman kehilangan keseimbangan daya rasional. Titik api menjadi bara, ledakan besar, kembali masuk jadi racun kekacauan."
"Siklus putaran waktu. Para filsuf menulis titik balik, logika bermain di imajinasi, pada garis merah teori analisis. Bergulir di mazhab-mazhab meruang sangkala megatruh." Mahatma Selo menghela nafas ogah melibatkan diri pada kebodohan politisasi orang-orang serakah. Dia memahami lebih mendalam bait ketiga dari sandi itu.
"Seni kultus, konspirasi sama persis karakter zaman ke zaman. Hanya berbeda label dagang, konspirasi berjalan seiring, berdaya bersama inovasi neo-politik, hipnotis watak, dicipta kelompok fanatisme hitam. (B)." Bon di sandera, tanda akhir dari sandi itu. Sebagian abdi kerajaan mendukung Malaikat Hitam. Mahatma Selo menghitung kekuatan.
Di benak Mahatma Selo, "Para abdi setia di bawah tekanan, mereka ahli astronomi, ahli herbal, ahli geologi dan ilmu bermanfaat lainnya. Bahaya!" Mahatma Selo berbagi indra dengan Elang Perak, menghimpun kekuatan membantu Mahatma Selo. Elang Emas, telah menyepi jadi pertapa di batas semesta antar planet, menerima kabar kekacauan di Mara Kumara.
Pasukan dipimpin Elang Perak, siaga penuh. Elang Emas, bersiap dengan kekuatan kanuragan tempur semesta. Kedahsyatan ilmu Mahatma Selo, hal ditakuti pihak lawan, antara lain bisa mengubah arah kutub bumi. Mahatma Selo mampu memutar bola bumi, jika terdesak.
"Klik! Gawat kan?" Player video dimatikan Kakak, langsung kabur kekamar.
"Kakak! Aku masih mau nonton," kata adik.
Suara Kakak sembari kepalanya menyembul sedikit dari pintu kamar. "Kerjakan tugas sekolah dulu. Akhir ceritanya yang menang Mahatma Selo. Malaikat Hitam dan penjahat lainnya mati di tumpas Ki Ageng Garuda Sakti alias Elang Emas."
Adik menyeru penasaran. "Terusin sedikit ya kepo nih Kak. Please deh. Aku mau melihat Ki Ageng Garuda Sakti. Seperti apa kesaktiannya."
Ada suara Bunda. "Adik! Belajar dulu," ada suara Ayah. "Adik ayo belajar dulu ya." (Tamat). (ded/ded)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar