Selasa, 04 Juli 2017

Jerman Dan Kisah Regenerasi Tiada Henti


OLEH    SANDY MARIATNA    Ikuti di Twitter

Publik sepakbola awalnya mengernyitkan dahi ketika Joachim Low tidak membawa skuat terbaik Jerman di Piala Konfederasi 2017. Sebuah timnas senior berstatus juara dunia empat kali datang ke turnamen dengan memakai "Tim B" yang diisi pemain muda dan minim pengalaman.

Tidak ada nama-nama besar semisal Toni Kroos, Thomas Muller, Mesut Ozil, Mats Hummels, sementara bintang lain Manuel Neuer, Marco Reus, Mario Gotze juga tidak dibawa lantaran cedera. Hanya Julian Draxler, Shkodran Mustafi, dan Matthias Ginter yang tercatat sebagai alumni Piala Dunia 2014 di skuat ini.

Low seperti melawan arus mengingat timnas lain memanggil para pemain berpengalaman, termasuk mereka yang berstatus superstar, seperti Cristiano Ronaldo di Portugal atau Alexis Sanchez di Cile. Faktanya, rata-rata usia skuat Jerman adalah yang termuda ketimbang peserta lain di Piala Konfederasi 2017 (23,9 tahun).

Joachim Low & Leon GoretzkaLow dan Goretzka, awalnya dipandang sebelah mata.

Tak heran, ketua panitia penyelenggara Piala Dunia 2018 Alexey Sorokin langsung melemparkan kritik pedas kepada Jerman sebelum turnamen dimulai. "Hati para fans terluka karena sang juara dunia datang tanpa para bintang," katanya. Namun, Sorokin dan para peragu lain sebetulnya tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

Rusia pada musim panas ini justru semakin mengekspos superioritas sepakbola Jerman dalam penggemblengan pemain muda berikut regenerasinya. Pasukan muda Jerman yang tadinya diremehkan justru keluar sebagai juara Piala Konfederasi dengan menggebuk Cile 1-0, Senin (3/7) dini hari WIB.

"Jetzt sind wir alles," demikian judul headline surat kabar Bild menyambut keberhasilan ini. Kalimat itu jika diterjemahkan menjadi "kini kami [memenangi] semuanya" yang merujuk pada makin lengkapnya trofi internasional yang telah dikoleksi Jerman setelah Piala Dunia dan Piala Eropa.

OPINI: Masa Depan Jerman Cerah, Tapi Masa Depan VAR Tanda Tanya

Ya, baru di era Leon Goretzka, Joshua Kimmich, Timo Werner, dan Niklas Sule inilah Jerman mampu memenangi Piala Konfederasi. Dalam dua partisipasi sebelumnya (1999 dan 2005), Jerman yang diperkuat pemain legendaris seperti Lothar Mattaheus, Oliver Kahn, Michael Ballack, sampai Lukas Podolski belum pernah menjadi kampiun turnamen pemanasan Piala Dunia ini.

"Ini kebahagiaan yang absolut. Kami menunjukkan penampilan luar biasa selama tiga pekan. Beberapa pemain kami tidak pernah main di laga final sebelumnya. Mereka akan mengenang laga ini selamanya," kata Low selepas partai puncak di St Petersburg. Perjudian pelatih 57 tahun itu terbukti sukses.

Kejayaan Jerman di Piala Konfederasi sebetulnya sudah tercium dua hari sebelumnya dengan keberhasilan timnas junior mereka menjuarai Kejuaraan Eropa U-21 di Polandia. Tim besutan Stefan Kuntz itu mampu memukul Spanyol 1-0 di final. Tak ayal, dua kesuksesan dalam waktu berdekatan ini kian menegaskan betapa dahsyatnya kedalaman skuat dan regenerasi yang dimiliki Jerman.

GFXID Jerman dan Regenerasi Tiada Henti

Low kini memiliki dilema yang menyenangkan. Pelatih yang tak pernah gagal mengantar Jerman mencapai semi-final dalam setiap turnamen ini bisa saja memiliki lima Starting XI yang relatif sama kuatnya. Ini adalah kabar gembira bagi Die Mannschaft dalam menatap agenda berikutnya: Piala Dunia 2018, Euro 2020, Piala Dunia 2022, dan seterusnya.

Keberhasilan Jerman dalam meregenerasi pemainnya dengan sangat cepat ini jelas bukan proses instan, melainkan buah dari proses panjang yang sudah mereka rintis sejak 17 tahun yang lalu. Kala itu, wajah timnas senior Jerman mendapat noda terbesarnya.

Di Euro 2000, Jerman yang merupakan juara bertahan turnamen menjadi juru kunci di fase grup. Mereka kebobolan lima kali dan cuma bisa membikin satu gol dan, yang terparah, masih mengandalkan pemain "lansia" dalam diri Mattheus (39 tahun). Aib itu memberikan tamparan keras bagi Federasi Sepakbola Jerman (DFB) untuk melakukan reboot dalam sistem persepakbolaan mereka.

GOALPEDIA: Mengulik Resep Pembinaan Pemain Muda Jerman

DFB lantas mereformasi sistem pembinaan bibit muda, meliputi pembenahan akademi pemain di setiap klub, di level akar rumput (grassroots),penyelenggaraan kompetisi regionaluntuk level junior, hingga merombak sektor kepelatihan. Didirikannya ratusan Stutzpunkt atau pusat pendidikan sepakbola regional menjadi perubahan yang paling kasat mata.

Lewat Stutzpunkt ini, sedikitnya 600 ribu talenta muda dapat terpantau oleh 1.300 pelatih binaan DFB setiap tahunnya. Idealnya, setiap keluarga di Jerman memiliki akses ke Stutzpunkt dalam radius 25 km dari rumah mereka untuk menjamin tak ada anak berbakat yang luput dari radar. Bahkan terdapat pengalokasian uang bensin untuk meringankan orang tua dalam mengantar anak mereka ke Stutzpunkt.

Semua perubahan ini menelan biaya yang tidak murah. Ketika negara-negara lain melakukan pengetatan anggaran karena krisis ekonomi regional saat itu, pemerintah Jerman melalui DFB malah mengucurkan total sekitar Rp13 triliun untuk memastikan program ini berjalan sukses.

Joshua Kimmich, Julian Weigl, Julian Brandt - Germany"3J" siap lanjutkan generasi emas Jerman.

"Tanpa program itu tidak akan ada tim Jerman seperti sekarang. Tidak akan muncul Toni Kroos, bocah dari kawasan kecil Greifswald (yang berjarak 250 km dari kota besar Berlin dan Hamburg)," kata Dietrich Weise, eks pelatih Jerman.

Perombakan masif ini pada akhirnya membuat Bundesliga menjadi kompetisi yang tidak hanya makin berkualitas namun juga kian diminati. Dampak paling kentara bisa dilihat dari perkembangan timnas Jerman. Sepakbola pragmatis dan membosankan yang dulu melekat dengan Tim Panser telah ditanggalkan, beralih rupa menjadi sepakbola menyerang nan atraktif.

Prestasinya tidak main-main. Jerman selalu menembus minimal semi-final di setiap turnamen mayor sejak 2006, termasuk runner-up Piala Eropa 2008 dan tentu saja menjadi kampiun Piala Dunia 2014 dan Piala Konfederasi 2017. Di level junior, selain merengkuh Euro U-21 2017, para pemuda Jerman juga berhasil menjuarai ajang yang sama pada 2009 lalu, Euro U-19 (2008 dan 2014), dan Euro U-17 (2009).

Melihat regenerasi yang terus bergulir tiada henti ini, roda kesuksesan Jerman sepertinya bakal terus berada di atas.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search