Suasana Pulau Hukuman digambarkan sering berkabut, terutama saat matahari belum menampakkan diri. Di dalam suasana yang mencekam itulah para perempuan yang dianggap telah membawa aib bagi keluarganya ditinggalkan, setelah dibawa memakai sampan. Di pulau ini ajal mudah menjemput bagi para perempuan yang jadi korban hukuman keji.
Ada yang memilih menceburkan diri ke danau dan membiarkan dirinya tenggelam hingga ke dasar. Ada juga yang terenggut nyawanya akibat kelaparan akut serta dingin yang menusuk. Setiap kematian juga turut merenggut nyawa sang janin di dalam rahim para korban.
Pada April lalu tim BBC News yang dipimpin Patience Atuhaire bertemu dengan salah seorang sintas, namanya Mauda Kyitaragabirwe. Masa remaja yang seharusnya dilalui dengan gembira tapi hilang seketika setelah dinyatakan hamil di luar nikah. Padahal usianya baru menginjak 12 tahun. Hukuman adat tetap harus dilaksanakan terhadapnya. Mauda tentu saja ketakutan.
"Waktu itu umurku baru 12 tahun. Jika kau dibawa dari rumahmu ke sebuah pulau di tengah danau di mana tak ada orang lain yang tinggal, bukankah kau akan ketakutan," ujarnya.
Mauda sempat merasa kesepian, kelaparan, dan kedinginan yang amat sangat selama dibuang di Pulau Hukuman. "Aku hampir saja mati," katanya. Beruntung, pada suatu hari, seorang nelayan datang dan meminta Mauda ikut pulang ke rumahnya di Kashungyera--sebuah wilayah dengan jarak kurang lebih 10 menit jika memakai sampan dari Pulau Hukuman.
Mauda sempat ragu. Ia khawatir sang nelayan hanyalah seorang penipu. Saat ia konfirmasi, sang nelayan berkata bahwa dirinya justru berniat untuk memperistri Mauda, dengan kata lain, menyelamatkan nyawanya. Mauda akhirnya menurut, dan hingga di usianya yang menginjak kepala delapan di 2017 ini, ia masih diberi kesempatan untuk hidup bersama para anak dan cucunya.
Anaknya, Tyson Ndamwesiga sempat berkata umur pasti ibunya sebenarnya bisa lebih dari 80 tahun. Mauda lahir di era belum ada pencatatan sipil apalagi punya kartu tanda penduduk. Mauda hanya punya kartu pemilihan sebelum kemerdekaan Uganda pada 1962. Tyson memperkirakan usia sesungguhnya dari ibunya kurang lebih 106 tahun.
Selama separuh pertama dari hidup Mauda yang begitu panjang, ia masih menyaksikan bagaimana tradisi menikahkan anak perempuan yang masih perawan dibumbui tujuan yang materialistis, demi mendapatkan uang mahar. Mahar ini penting untuk meningkatkan ekonomi keluarga dari pihak yang perempuan. Biasanya berupa hewan ternak. Akibat Mauda tak lagi perawan, saat menikah dengan suami yang sangat dicintainya itu, ia tak memperoleh mahar sepeser pun.
Menyelamatkan perempuan yang sedang dihukum di Pulau Hukuman terkadang dijadikan alasan bagi para pemuda di daerah asal Mauda agar bisa menikah tanpa mahar. Sayangnya, ada tradisi lain untuk menghukum perempuan yang hamil di luar nikah, khususnya di distrik Rukungiri, yakni dengan cara dilempar ke air terjun.
Ada satu air terjun yang legendaris sebagai tempat merenggut nyawa para perempuan tak beruntung itu, namanya Air Terjun Kisiizi. Menurut cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, dulu, praktik ini terhenti akibat ada seorang perempuan yang menarik tangan kakak laki-lakinya sehingga turut terlempar ke dasar air terjun. Selain itu, hukuman ini sangat sadis, padahal ada persoalan lain yang penting dan menentukan yaitu pendidikan seksual bagi remaja di Uganda.
Pendidikan Seks dan Misionaris
Tak ada pendidikan seksual di Uganda pada periode satu abad lalu. Sosok seperti Mauda dan perempuan korban pembuangan lainnya, sesungguhnya tak memahami konsekuensi dari hubungan seksual pra-nikah. Ia sambil tertawa kecil saat menjelaskan bahwa kehamilannya gara-gara godaan setan. Sang "setan" penggoda tak pernah terdengar kabarnya sejak ia keluar dari Pulau Hukuman."Kehamilan itu terjadi di kala usiaku masih sangat muda. Aku tak pernah melahirkan bayi itu. Tragedi itu terjadi di masa lalu, masa di saat kau tak bisa membela dirimu sendiri. Jika kau melakukannya, mereka akan memukulimu," katanya.
Di awal hubungannya dengan sang suami di Kashungyera, Mauda sempat menjadi bahan gunjingan para tetangganya, karena Mauda dianggap tak terhormat di mata mereka. Beragam stigma negatif ditimpakan kepadanya. Beruntung, lambat laun kondisinya berubah. Perubahan terbesar terjadi sejak praktik pembuangan ke Pulau Hukuman tak dilakukan lagi.
Selama berbincang dengan Patience Atuhaire, Mauda kerap berhenti bicara lalu melihat tangannya. Ada gurat kesedihan yang tergambar di wajahnya pada saat ia menarasikan kembali hal-hal buruk yang pernah terjadi pada dirinya. Namun nuansa bisa kembali ceria saat ia diminta berbicara soal suaminya, anak-anaknya, dan kehidupan saat ini.
Suami Maude bernama James Kigandeire. James meninggal pada 2001 silam. Maude dengan semangatnya berkata bahwa James amat sangat mencintainya, sebab James tak hanya menyelamatkan Maude dari pulau terkutuk itu, tapi juga merawatnya hingga di usia senja.
"Ia pernah bilang padaku, 'Aku memilihmu dari sebuah belantara, dan aku tak akan membuatmu menderita.' Kami memiliki enam anak perempuan dan tinggal bersama di rumah ini hingga ajal menjemputnya," kata Maude.
Mauda termasuk yang beruntung, meski hidup di era "kegelapan" ia masih bisa hidup pasca hukuman yang mengerikan itu. Namun yang lebih beruntung adalah para perempuan yang melakukan hal sama setelah tradisi itu ditinggalkan. Hukuman dengan cara mengisolasi korban tak terpisahkan dari peran para misionaris.
Misionaris datang ke Uganda sejak abad ke-19, meski demikian praktik pembuangan korban hamil di luar nikah ke Pulau Hukuman masih dilaksanakan. Baru di awal abad ke-20 praktik tersebut berangsur-angsur ditinggalkan. Kristen memiliki peranan yang cukup penting bagi kehidupan baru masyarakat Uganda yang lebih manusiawi. Mauda dipercaya sebagai korban praktik pembuangan pada masa-masa akhir.
Tragedi masa lampau membuat Mauda lebih bijak kala berhadapan dengan anak-anak perempuannya. "Aku punya tiga anak. Jika salah satu di antara mereka hamil sebelum menikah, aku tak akan menyalahkan atau menghukum mereka. Mereka akan pulang ke rumah ayah mereka, dan dijaga baik-baik."
Baca juga artikel terkait HAMIL atau tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan
(tirto.id - awa/dra) </b>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar