Benda cagar budaya tak melulu soal bangunan besar dengan ciri khas peninggalan masa lalu seperti peninggalan kolonial Belanda. Tengoklah masjid yang kecil itu, di utara Jakarta, di sebuah jalan yang sempit pula.
Sedikit yang tahu, masjid kecil Jami Al-Mansur yang terletak di Jalan Sawah Lio II/33, Kelurahan Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat seluas 2 hektar ini menyisakan cerita yang begitu mendalam tentang perjuangan kemerdekaan bangsa. Usianya cukup tua, yakni 300 tahun.
Masjid ini tak cukup menyisakan arsip sejarah yang bisa dilihat. Menjadi bangunan yang cukup luas seperti yang terlihat saat ini saja juga berkat pemugaran dan perluasan area masjid besar-besaran oleh KH Mohammad Mansur (Guru Mansur) yang kemudian meninggal dunia tahun 1967 silam. Tuan Guru Mansur merupakan kakek buyut dari ulama kondang Yusuf Mansur.
Dahulu masjid ini bernama Masjid Kampung Sawah. Masjid ini merupakan salah satu yang paling tua di Jakarta yang dibangun pada tahun 1717 Masehi oleh seseorang keturunan bangsawan Kerajaan Mataram.
Masjid ini memiliki empat pilar (sokoguru) sebagai pondasi utama bangunan. Ciri khas masjid ini cukup dikenal seperti masjid-masjid tempo dulu yang pada umumnya memiliki pilar-pilar besar.
"Semacam simbolisasi. Tapi wallahualam makna hakikinya kita tak tahu. Itu hanya penafsiran saja yang barangkali mendekati sebuah kebenaran," imbuhnya.
Di bagian bawah, pilar ini memiliki bentuk segi delapan yang diikuti bagian atasnya yang terdapat pelipit genta, dan pelipit penyangga.
Batang utama keempat pilar berbentuk bulat. Pada ketinggian setengah di antara keempat sokoguru terdapat balok-balok kayu yang melintang. Gunanya antara lain untuk menopang kedua tangga yang menuju ke loteng.
Di atas balok-balok selebar kurang lebih 50 centimeter itu di sisi kanan dan kiri dibuatkan pagar dengan tinggi sekitar 80 centimeter. Pola pagar ini berbentuk belah ketupat. Sementara bagian atap masjid, berbentuk tumpang tiga membentuk limasan.
Di bagian luar, ada menara berbentuk silinder setinggi 12 meter. Pada bagian keempat dan kelima dari menara itu terdapat teras yang berpagar besi. Atap menaranya berbentuk kubah setengah lingkaran menutup.
Bicara soal sejarah, berdirinya bangunan ini tak luput dari sejarah KH Mohammad Mansur. Sosok panutan orang-orang Betawi yang begitu lantang melawan penjajah Belanda di masanya. Ia pun dimakamkan tepat di belakang masjid, bersama para ulama-ulama terdahulu yang tak dikenali pusaranya.
Mohammad Mansur yang akrab disapa 'Guru Mansur' ini kemudian diabadikan namanya menjadi nama masjid itu sendiri. Salah satu literatur dari buku karya Alwi Shihab menceritakan keberanian Guru Mansur di masjid ini. Ia yang pada waktu itu tinggal tak jauh dari masjid 'nekat' memasang bendera Merah-Putih di menara masjid yang kini tampak lapuk. Padahal ia tahu perbuatannya tersebut akan mendapat reaksi keras dari pemerintah kolonial.
Benar saja, Belanda yang waktu itu menguasai Batavia dengan cepat mengepung masjid dari bagian depan. Baku tembak antara pejuang Nasionalis dengan tentara NICA yang kala itu masuk dari Pelabuhan Sunda Kelapa menuju daerah di batavia termasuk Sawah Lio pun tak terhindarkan.
Singkat cerita, hal ini kemudian membuat Guru Mansur harus dipanggil dan diadili oleh Belanda yang kemudian ditahan. Mohammad Mansur dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1878, di Sawah Lio.
Sawah Lio kini dijadikan salah satu nama jalan letak dimana Masjid Al-Mansur berada. Sawah Lio masuk dalam wilayah administratif Kelurahan Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Usut punya usut, Sang Guru panutan masyarakat Betawi itu rupanya juga memiliki darah keturunan dari Kerajaan Mataram di masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593-1645). Hubungan darah antara Guru Mansur dengan kerajaan Mataram dapat ditelusuri dari sosok Raden Abdul Mihit, pendiri Masjid Jami Al-Mansur.
Dalam buku 'Masjid-Masjid Bersejarah di Jakarta' Terbitan Erlangga halaman 66 disebutkan bahwa Raden Abdul Mihit yang juga disebut Pangeran Cakrajaya Adiningrat ini mendirikan masjid pertamanya di abad 18 (1717 M) untuk keperluan ibadah serta sarana pendidikan mental masyarakat melawan penjajah.
Hal ini terus berlangsung hingga masa perlawanan oleh Guru Mansur terhadap pemerintah kolonial belanda pasca kemerdekaan tahun 1947-1948.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar