Indonesia sempat dikecam oleh beberapa negara tetangga karena menyebabkan polusi asap yang sangat parah akibat kebakaran lahan dan hutan pada 2015 lalu. Singapura dan Malaysia kala itu terkena imbas dari kebakaran lahan gambut besar-besaran yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
Bukan hanya dikecam negara tetangga, saat itu Indonesia juga kelimpungan karena ratusan hektare hutan terbabat habis oleh si jago merah. Australia, Singapura, hingga Malayasia turut berbondong-bondong memberi bantuan untuk memadamkan api yang tak hanya satu dua hari membakar hutan gambut di kawasan Sumatera itu.
Berbagai cara dilakukan untuk memadamkan api. Mulai dari memadamkan dengan sistem water bombing ke titik api melalui udara hingga menyemprotkan air dengan sistem manual di jalur darat.
"Saya masih ingat, waktu itu jarak pandang benar-benar kecil, negara lain pun kecam kita, itu pukulan hebat untuk kita," kata Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin saat ditemui CNNIndonesia.com di kantornya, Palembang, Selasa (15/8) Malam lalu.
"Itu memang karena panasnya minta ampun 2015 itu. Kalau saya sampai sekarang tidak percaya manusia mau bakar hutannya sendiri cuma buat keuntungan pribadi, manusia pasti tidak bodoh kan," kata dia.
Alex menuding, jika memang ada manusia yang berpikir membuka lahan dengan cara pembakaran, maka akal sehatnya tidak jalan. Sebab jelas-jelas hutan di kawasan Sumatera Selatan khususnya, kebanyakan adalah hutan gambut yang memang sangat mudah terbakar, apalagi saat musim kemarau datang.
"Kan kering, gambut itu ke dalam-dalamnya (tanah) itu kering kalau kemarau, sangat mudah terbakar," katanya.
Solusi
Kini berbagai penelitian dilakukan untuk menghalau kembalinya kebakaran hutan besar. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup pun mencoba berbagai cara untuk mengantisipasi terjadinya kembali kebakaran hutan.
Lahan gambut yang terkenal mudah tersulut api pun diolah dengan berbagai metode sehingga bisa tahan meskipun kemarau panjang kembali datang.
Ilustrasi Pemadaman Kebakaran Lahan dan Hutan. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi). |
"Dengan metode dan perlakuan khusus, pohon-pohon yang tidak cocok ditanam di lahan gambut bisa tumbuh, ini bagus untuk antisipasi kebakaran hutan," kata Peneliti Litbang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bastoni di kawasan restorasi gambut, Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
KLHK sendiri mengklaim pertama kali melakukan restorasi lahan gambut di areal seluas 20 hektare itu pada tahun 2010. Sementara untuk penelitiannya sendiri menurut Bustoni, telah dilakukan sejak lahan tersebut terbakar pertama kali di tahun 1997.
"Sejak saat itu, kita mulai mencari bagaimana agar lahan tidak terbakar, tentu selain sawit kita harus mencari pohon lain yang lebih kuat menahan serangan kemarau," kata Bastoni.
Kurang lebih, saat ini ada 20 spesies tanaman non sawit yang di tanam di lahan percobaam untuk mengatisipasi terjadinya kebakaran akibat kemarau panjang. Misalnya, pohon Ramin, Jelutung, Punak, Meranti, dan Medang telah tumbuh cukup tinggi di lahan gambut benas kebakaran ini.
"Awalnya memang sulit tumbuh, kita lakukan perlakukan dan metode khusus, kita mencoba menabrak kepercayaan bahwa lahan gambut hanya cocok untuk sawit, dan itu terbukti tidak kan," kata Bastoni.
"Dengan catatan, masyarakatnya pun mau ikut menjaga," kata dia.
Terkait hal ini, Alex Noerdin selaku orang nomor satu di Sumatera Selatan pun menyatakan hal yang sama.
Kebakaran hutan baginya merupakan hal yang paling ditakuti terjadi di masa kepemimpinannya. Sebab, bukan hanya merugikan dengan hilangnya ratusan hektare, tetapi akan sangat berbahaya bagi masyarakat yang terkena langsung dampak dari kebakaran, misalnya terkena ISPA akibat asap.
"Terus antisipasi, tak mau lagi saya ada kebakaran, di Sumatera Selatan, di daerah mana pun jangan lagi (kebakaran), kita harus jaga hutan kita," tutup Alex. </span> (osc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar