SURATKABAR.ID – Telah selama 72 tahun lamanya Indonesia mendapatkan kemerdekaannya dari penjajahan yang menebarkan benih-benih penderitaan bagi warga pribumi. Namun sangat penting untuk tetap mengingat sejarah dan segala macam perjuangan para pahlawan di masa lalu.
Perjuangan yang dilakukan setiap warga Indonesia demi mewujudkan kemerdekaan bagi Nusantara adalah bentuk kecintaan terdalam. Dari ujung Aceh hingga Papua, semua bangsa Indonesia bersatu padu untuk merebut kembali tanah milik mereka dari bangsa asing yang datang dan merebut harta kekayaan.
Dilansir sindonews.com, Sabtu (19/8/2018), terdapat satu perang yang menjadi benteng terakhir perlawanan warga pribumi terhadap pasukan Belanda yang menduduki Nusantara, yaitu Perang Gayo. Di dalam sejarah Perang Aceh, inilah perang yang tak mungkin dapat dipisahkan begitu saja.
Telah dimulai pada saat masa Kesultanan Aceh di awal tahun 1990-an, Perang Gayo terus dilakukan meski Sultan Muhammad Daudsyah, Raja Aceh terakhir telah ditangkan di Pidie pada 1903. Perlawanan bangsa Indonesia tetap saja berkobar dengan pantang menyerah.
Baca Juga: Kok Bisa? Tanpa Kesalahan Kuli Bangunan ini Harus Meringkuk Ratusan Hari di Bui
Untuk menghindari penangkapan yang dilakukan oleh pasukan Belanda, pejuang Nusantara pun menyusun strategi gerilya jangka panjang di belantara hutan Pegunungan Gayo. Perlu diketahui, Tanah Gayo adalah satu wilayah paling akhir yang dimasuki Belanda selama penjajahan mereka.
Ada begitu banyak nama pejuang yang berasal dari Tanah Gayo. Sebut saja Tengku Tapa dari Telong. Sosok pahlawan Tanah Gayo yang satu ini memiliki ilmu kanuragan yang ia dapatkan setelah menghabiskan waktu selama tujuh tahun bertama di Gunung Geureudong, Telong Takengon.
Ialah salah satu pejuang Indonesia yang paling ditakuti oleh para pasukan Belanda. Tengku Tapa juga diyakini merupakan salah satu panglima di Kesultanan Aceh. Karena itu bentuk perjuangannya lantas mendapat simpati dari masyarakat pribumi yang kemudian menjatuhkan moral pasukan Belanda.
Tengku Tama dibantu oleh dua orang anak buahnya, Pang Pren dari Munte Kala, Kampung Kung Pegasing dan Pang Ramung dari Kebayakan. Dua sosok tersebut sering berada di Aceh Timur dan Aceh Utara bersama panglima Tengku Tapa. Bahkan keduanya sering ikut serta menghadap petinggi Aceh.
Yang membuat Tengku Tapa ditakuti adalah strategi perang yang ia miliki. Tak hanya itu, ia juga merupakan seorang ahli propaganda yang memiliki tak sedikit pengikut di pesisir. Sementara pasukannya merupakan gabungan antara pasukan dari Dataran Tinggi gayo dan pasukan dari Aceh.
Baca Juga: Wow! Ternyata Ada Rahasia Cantik Tersembunyi di Bandara Ngurah Rai Bali yang Wajib Diketahui
Mereka bergerak di sekitar Aceh Timur dan Aceh Utara sekitar tahun 1898 hingga 1900. Kelebihan dari pasukan yang dimiliki oleh Tengku Tapa tersebut adalah mereka termasuk pasukan yang dikenal memiliki keberanian tinggi dan sangat tangguh.
Karena mendapatkan kerugian materil serta moril akibat perlawanan pasukan Tengku Tapa terhadap pasukan kolonial, membuat Belanda akhirnya memutuskan untuk menurunkan jenderal terbaiknya, yaitu JB Van Heutsz yang didampingi oleh penasihat Snouck Hurgronje.
Van Heutsz kala itu dengan terpaksa menuju Idi untuk menghadapi perlawanan yang datang secara tiba-tiba. Namun dengan pasukan Tengku Tapa yang bergerak maju menghadang pasukan meriam dan infanteri yang dibawa Van Heutsz membuat Tengku Tapa kehilangan banyak pasukannya.
Serbuan tersebut dimenangkan oleh pasukan Van Heutsz. Mereka pun terus melakukan pengejaran terhadap sisa pasukan Tengku Tapa hingga di Seuneubok. Dan meski Tengku Tapa gugur di daerah Pasee Aceh utara tahun 1900, namun perlawanannya diteruskan oleh sisa-sisa laskar Tengku Tapa.
Bulan Februari 1904, Van Heutsz ditunjung sebagai Gubernur militer dan sipil di Aceh. Dia memerintahkan Letnan Kolonel BCE Van Daalen untuk memimpin pasukan Marsose menyerang Tanah Gayo dan Alas yang berlokasi di tengah-tengah pegunungan Aceh.
Baca Juga: Brigadir Deny Alami Luka Saat Akan Tindak Pelanggaran yang Dilakukan Remaja Mabuk
Gayo Laut menjadi lokasi serangan pertama. Dilanjutkan Gayo Linge, Gayo Lues dan tanah Alas. Perang tersebut berlangsung selama 10 bulan dan menyebabkan jatuhnya korban dalam jumlah yang tak sedikit dari kedua belah pihak.
Lalu pada 8 Februari hingga 23 Juli 1924, satu kolone marsose melakukan penyerbuan ke Tanah Gayo dan Alas dibawah perintah Letkol GCE Van Daalen. Di dalam pertempuran tersebut, korban yang jatuh sangat besar. Pasukan Gayo kala itu telah mempersiapkan kematian mereka dengan pakaian serba putih.
Tampak ketimpangan dalam perang tersebut, di mana para pasukan Gayo hanya menggunakan senjata pukul dengan bedil lantak tua. Sama sekali tidak sebanding dengan pensenjataan yang digunakan oleh pasukan marsose. Tak butuh waktu lama, pasukan Gayo berhasil diluluhlantakkan seketika.
Perang Gayo sebenarnya tidak berakhir pada 1913 ataupun 1914. Pasalnya dari tahun 1914 masih terjadi banyak perlawanan di dataran Aceh. Hingga pada 12 Maret 1942, ketika pasukan Jepang datang, pasukan Gayo terus menggempur pasukan Belanda yang tersisa.
Akhirnya baru pada 28 Maret 1942, atau tiga minggu setelah Jawa menyerahkan dirinya ke Jepang, Jenderal Overakker menyatakan takluk. Karena Perang Gayo tersebutlah, wilayah Aceh menjadi yang terakhir yang dimasukkan dalam teritorial wilayah Belanda dan yang pertama keluar dari pemerintahan Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar