
Warga mengemas barang-barangnya di atas truk untuk mengungsi dari Desa Sebudi yaitu salah satu desa terdekat dengan puncak Gunung Agung, Karangasem, Bali, 20 September 2017. ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana.
TEMPO.CO, Jakarta - I Wayan Ngenteg, 70 tahun, tampak santai bercerita tentang pengalamannya mengingat letusan Gunung Agung pada 1963. Rumahnya di Dusun Temukus, Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem, berjarak sekitar 2 kilometer dari gunung setinggi 3.142 di atas permukaan laut itu.
"Saya ikut anak saja nanti mengungsi," katanya, Kamis, 21 September 2017.
Baca:Gunung Agung Siaga, Warga Zona Merah Masih Pantau Ternak
Walaupun kawasan rumah Ngenteg masuk zona merah, tak terlihat raut wajah cemas. Senyuman mewarnai setiap kenangan yang ia ucapkan. "Tahun 1963, saya mengungsi berjalan kaki ke (Kabupaten) Klungkung," ujarnya.
Saat itu, Ngenteg sempat melihat lelehan lahar yang merayap, tapi tidak mengarah ke desanya. "Biasa saja, tenang. Tidak ada (bagian) rumah (saya) rusak, cuma abu. Ya, gempa tetap terasa," ucapnya.
Baca:Gunung Agung Siaga, Kawasan Wisata Pura Besakih Disterilkan
Warga lain, I Nengah Suwenten, 54 tahun, juga tidak terlalu resah. Namun dia sudah mempersiapkan diri untuk mengungsi. "Sudah ada informasi (mengungsi) dari kepala dusun," tuturnya.
Sedangkan I Kadek Lasia, 36 tahun, sore tadi sudah mempersiapkan semua perlengkapan tidur untuk dibawa ke tempat pengungsian. "Sekalian bareng keluarga," katanya. Saat ini, ia terus mewaspadai status Gunung Agung.
"Masih begini enggak (takut). Kalau sudah muncul abu, baru," ujarnya sambil tersenyum. Lasia tidak ingin larut dalam kepanikan karena ia sering mendengar pengalaman dari warga desa yang sudah sepuh saat Gunung Agung meletus pada 1963.
Gunung Agung terakhir meletus pada 1963. Saat itu, letusan berlangsung selama hampir setahun, yaitu 18 Februari 1963 hingga 27 Januari 1964. Letusan tersebut menelan banyak korban jiwa, yakni 1.148 orang meninggal dan 296 mengalami luka-luka.
BRAM SETIAWAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar