REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah buku 'Pitung Pituan Pitulung' ditulis oleh Iwan Mahmoed Al Fattah, menjadi kontroversi tersendiri di masyarakat. Pasalnya, kisah Jagoan Betawi Si Pitung memang memiliki berbagai versi, serta masih dipertanyakan apakah sosoknya nyata atau fatamorgana?
Kisah yang ditulis oleh Iwan ini, menjadi kontroversi dan dipilih sebagai salah satu buku yang akan didiskusikan pada 2017 ini dengan dihadiri beberapa komunitas masyarakat Betawi seperti Jawara Betawi, Bang Japar, dan Perguruan Nagapamungkas. Sudah hampir 25 tahun, kisah Si Pitung menjadi diskusi di setiap tahunnya oleh Betawi Kita dengan mengusung tema 'Orang Betawi & Cerita Si Pitung'.
Iwan sang penulis buku kontroversi itupun hadir dalam diskusi yang diadakan di Gedung Balai Latihan Kesenian Jakarta Pusat Jalan KH Mas Mansyur No. 130A, Tanah Abang, Jakarta Pusat tersebut. Ia memaparkan pokok pemikiran dari munculnya buku 'Pitung Pituan Pitulung'.
Pertama, buku itu dibuat atas dasar untuk meningkatkan kesadaran pemikiran masyarakat Betawi, bahwa betapa pentingnya arti sebuah sejarah. Kedua, perjuangan masyarakat Betawi tidak pernah berhenti, dari zaman masyarakat Pitung sampai sekarang.
"Sejarah yang dimunculkan dari kaum Betawi sendiri, karena sejarah yang ditulis kaum kolonialis tidak sama. Masyarakat Betawi itu terpelajar dan punya wawasan lebih. Betawi adalah salah satu suku yg terhormat," papar Iwan dalam diskusi tersebut, Sabtu (25/11).
Menurut dia, buku yang ia tulis pun tidak sembarang ia tulis tanpa referensi yang jelas. Ia mewawancarai banyak orang, mengecek beberapa naskah tua, meneliti sejumlah peninggalan, dan menapak tilas hampir di 274 titik tempat yang ada di DKI Jakarta. Dan itu semua ia lakukan selama tiga tahun.
Iwan juga mendengar kisah-kisah yang diceritakan masyarakat Betawi dan juga ulama-ulama terkemuka. Namun, satu referensi terkuatnya memang ada pada sebuah kitab yang bernama Al Fatawi. Kitab Al-Fatawi ini adalah salah satu kitab yang berkisah seputar Jakarta, ditulis oleh seorang hafidz Quran, sejarahwan, dan politikus bernama KH Ahmad Syar'i.
KH Ahmad Syar'i juga merupakan salah satu tokoh sejarah yang terlibat pada masa keberadaan Pitung, karena ia memiliki silsilah langsung dengan Pitung. Berdasarkan indikator tersebut, Iwan meletakkah kepercayaan pada kitab tersebut.
"Dari situ, saya juga menulis sejarah bukan hanya Pitung, dari 2007, saya tulis juga soal wali, kesultanan, dan sejarah Islam. Lalu saya buat blog. Naskah ini merupakan salah satu naskah yang jadi. Saya percaya yang ditulis oleh para ulama pasti mengandung nilai kebenaran dan validitas. Kitab ini memberikan saya informasi luar biasa. Kitab itu petunjuk awalnya," papar Iwan.
Fokusnya pada kitab Al Fatawi ini yang akhirnya menimbulkan kontroversi. Pasalnya dalam buku tersebut, Pitung disebut bukan hanya satu orang, melainkan satu kelompok yang beranggotakan tujuh orang. Selain itu, pemaparan asal-muasal kitab Al Fatawi juga belum dijelaskan secara gamblang dalam buku Iwan.
Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara/Filolog UI, Munawar Holil yang juga hadir dalam diskusi, tertarik untuk meneliti kitab yang menjadi acuan buku Iwan itu. Kitab itu konon katanya berisi informasi yang dibuat oleh masyarakat setempat, dan tentu buku Iwan patut diapresiasi.
Selama 24 tahun Munawar bergelut di dunia manuskrip, ia melihat fenomena selama 15 tahun belakang ini, para peneliti dalam negeri melihat sudut pandang justru dari luar negeri. Sama dengan seperti cerita Si Pitung yang diadaptasi dari sumber-sumber Belanda, bukan dari sumber masyarakat asli Betawi.
Sehingga yang dilakukan Iwan dengan menulis buku bersumber dari masyarakat Betawi, bagi Munawar patut diapresiasi karena menjadi hal yang baru juga. "Dari sudut pandang ini, saya sangat mengapresiasi apa yang ditulis Bang Iwan, bahwa kita mulai melihat Si Pitung dilihat dari sudut pandang masyarakat Betawi, bukan dari orang lain," kata dia.
Namun, dengan hanya mengacu pada satu sumber yakni kitab Al Fatawi, ini perlu diulas karena di buku Iwan, ada empat bab khusus yang bercerita tentang kitab Al Fatawi. Munawar mengatakan selama dia menjadi peneliti manuskrip, dia belum pernah melihat secara langsung kitabnya.
"Saya ingin komentari kronologi perjalanan kitab Al Fatawi yang ada di bab 4, itu dari halaman 227-281. Ini sangat menarik. Karena untuk pengalaman penelitian naskah saya, saya harus komunikasi dengan teman-teman dari 18 cabang dari Aceh sampai Sulawesi Tenggara," kata Munawar.
Mulai dari perjalanan kitab Al Fatawi yang tidak dijelaskan dengan pasti asalnya, lalu bahasa yang digunakan juga agak rancu, serta huruf yang digunakan dalam kitab juga belum pernah diketahui Munawar selama ia meneliti manuskrip. Walaupun ia setuju dengan Iwan yang menyebutkan, penelitian itu akan terus berkembang dan tidak akan berhenti, sehingga akan selalu ada sesuatu yang baru.
Walaupun demikian, dalam penemuan baru dari suatu hasil penelitian, tentulah harus sesuai dengan kriteria yang kuat. Misal untuk penemuan naskah, Munawar menjelaskan perlu diteliti dari melihat jenis kertasnya itu bisa menentukan darimana tulisan itu berasal dan dari abad berapa.
Tidak hanya Munawar, penulis buku lainnya, yakni Penulis Buku 'Maen Pukulan' dan 'Pencak Silat Khas Betawi', GJ Nawi, juga mengkritisi buku Iwan. Bagi dia, Pitung merupakan seorang tokoh fenomenal, yang ia gambarkan seperti Dewa Janus.
Mengapa? Karena Dewa Janus mempunyai dua wajah berbeda. Dua wajah Dewa Janus di sini sebenarnya menggambarkan bahwa Dewa Janus mampu melihat masa lalu dan masa depan, namun, dua wajah Si Pitung dimaksudkan ia memiliki wajah kebaikan dan keburukan.
Kebaikan Pitung diakui masyarakat lokal sehingga ia dianggap sebagai pahlawan, namun kejahatan Pitung diakui mata kolonial sehingga menganggap dia sebagai bandit. Tokoh Pitung ini membuat bingung, tidak hanya pada masa kolonial tapi juga hari ini. Apakah dia nyata atau fiktif.
"Kebingungan ini saya lihat karena banyak versi cerita. Kalau boleh saya kasih masukan, saya merangkum banyak versi cerita," ujar GJ Nawi saat berbicara di waktu dan tempat yang sama. Ada tiga versi cerita Si Pitung yang ia paparkan.
Pertama, versi dari peranakan Tionghoa, mencuat ketika film Si Pitung dibuat pada 1931. Alasan GJ Nawi memaparkan versi ini, karena mulai dari produser sampai para pemain itu menggunakan orang Tionghoa yang disebut 'Wong brothers'. Segmen film ini juga diperuntukan untuk orang Tionghoa dan peranakan Tionghoa. Secara alur cerita, film ini diadaptasi dari roman klasik yakni perampok budiman. Versi ini tidak menyebar karena tidak diperbincangkan.
Kedua, versi Belanda dibuat oleh wartawan Belanda bernama Jan Fabricius. Ia tinggal di Batavia selama 10 tahun, dan menulis tentang peristiwa Pitung tapi dengan subjektifitas. Artinya dia mewakili pihak Belanda, sehingga Pitung itu digambarkan benar-benar orang yang jahat, seram, brutal, yang melakukan pembakaran, dan pemerkosaan. Versi Belanda ini juga mengagungkan sosok Schout Hinne.
Ketiga, versi Indonesia (masyarakat Betawi), pada umumnya punya kesamaan satu sama lain, rancak, hikayat, dan lainnya. Mulai muncul pada 1930an, mulai marak pada 1960-1970an. GJ Nawi melihat ide-ide ceritanya berlatar belakang kepahlawanan dan boleh dibilang hasil reka cipta.
"Ketika Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin, banyak kisah Betawi diangkat dengan kemasan baru, termasuk dalam cerita lenong yang diangkat dengan kisah pahlawan. Pada waktu itu lenong mendapatkan tempat. Apapun tentang Betawi diangkat ke permukaan, lenong yang tadinya hanya ada di jalan, jadi bisa mendapat tempat di Taman Ismail Marzuki (TIM)," papar dia.
Bagi dia, banyak juga novel dan buku Si Pitung yang pernah ia baca. Memang berbeda versi, namun buku Iwan menarik karena satu-satunya versi cerita Pitung yang menyebutkan Pitung adalah nama kelompok beranggotakan tujuh orang. Sementara semua versi Pitung yang ia ketahui, hanya menyebut satu orang dengan karakter seperti Robin Hood-nya Betawi.
"Saya koreksi. Ini kan dalam Bahasa Jawa ya. Bahasa Jawa pesisir termasuk Cirebon, kata 'pitung' yang diartikan numeral tujuh, itu tidak bisa menjadi kata sandang. Harus ada nomine yang mengikuti di belakangnya. Misal 'pitung bina' artinya tujuh hari. Kata 'ng' dalam 'pitung' ini pengatur atau pengait tidak bisa berdiri sendiri. Kalau mau berdiri sendiri akan menjadi 'piton'," papar GJ Nawi.
Kemudian 'pituan pitulung'. Dalam konteks Bahasa Jawa akhiran 'an' ini mengandung ketidakpastian. GJ Nawi mengambil contoh dari bahasa yang sudah diadaptasi ke Bahasa Indonesia. Misal tanya harga berapa, 10 ribuan, nah 'an' itu mengartikan ketidak pastian. Jadi bentuk 'pituan' ini harus ditemani di depannya. Kalau tujuh berarti harus 'wong pituan'.
Kemudian, saran lagi dari dia, dalam konteks penulisan, ia melihat dari daftar pustakanya. Kalo referensinya buku Iwan sudah oke, ya oke, tapi begitu lihat isinya, tidak ada metodologi penulisannya. Terlalu mengacu pada satu sumber. Jadi dalam metode sejarah itu, harus ada kritik sumber, kalau misal menemukan bahan, harus ada komparasi.
Pitung pejuang atau penjahat? Bagi GJ Nawi, terserah saja, karena dia hanya menampilkan data. Karena kejahatan Si Pitung itu lahir, dengan tuntutan kondisi pada zaman itu. Si Pitung bersama kawan-kawannya merupakan jawaban pada keadaan saat itu. Ketimpangan pada saat itu antara kaya dan miskin sangat terlihat sekali. Kondisi itu melahirkan jagoan walaupun dengan cara merampok.
Pitung sosok ditakuti juga dicintai. Waktu pelarian, dia sering disembunyikan masyarakat. Mengapa Schout Hinne mencari-cari tidak ketemu, karena disembunyikan masyarakat.
"Setelah Pitung wafat itu ada pembersihan. Orang-orang yang terlibat dan orang-orang yang terima jarahan dimusnahkan. Ada 17 orang, saya ingat satu dari 17 itu adalah perempuan, namanya Cong. Dia orang Tomang," jelas GJ Nawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar